Selasa, 02 Desember 2008

sejarah ketatanegaraan indonesia

SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA

intisari dari buku karangan:

(Ni’matul Huda, S.H, M.Hum.)

  1. Perubahan Sistem Pemerintahan Negara

Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia mengesahkan Konstitusi pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sebuah naskah yang dinamakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Undang-Undang Dasar Negra Indonesia dikenal naskah yang singkat dan supel yang memuat hal-hal yang pokok saja sedangkan didalam melaksanakan aturan yang pokok tersebut diserahkan kepada Undang-Undang yang lebih rendah. Sejak pertama kali kita menyatakan bernegara republik Indonesia, kita sudah memulai dengan tidak melaksanakan pasal-pasal dari UUD. Pasal-pasal yang kita gunakan ialah pasal peralihan. Menurut UUD 1945, Pemerintahan Republik Indonesia di pimpin oleh presiden dan di Bantu oleh seorang Wakil Presiden (pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)). Residen kecuali sebagai kepala Negara ia juga sebagai kepala Pemerintahan.

Sistem pemerintahan kita ialah Presidensil, dalam arti kepala Pemerintahan ialah Presiden, dan di pihak lain ia tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, artinya kedudukan Presiden tidak bergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat (Alinea Kedua Angka V, Penjelasan tentang UUD 1945).

Presiden dibantu oleh Wakil Presiden dan juga menteti-menteri yang diangkat dan di berhentikan oleh Presiden (pasal 17 ayat (1), (2), dan (3). Menteri-menteri tidak bertanggung jawab dan tergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat, akan tetapi tergantung kepada Prsiden (angka V Penjelasan UUD 1945).

Meskipun Wakil Presiden dan Menteri-menteri sama-sama berkedudukan sebaga presiden, akan tetapi sifatnya berbeda, yaitu; Pertama, Wakil Presiden diangkat oleh MPR, sedangkan Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Kedua, Wakil Presiden bukan pembantu Kepala Pemerintahan, tetapi merupakan pembantu Kepala Negara. Menteri-menteri adalah pembantu Kepala Pemerintahan (pasal 17 (3). Ketiga, apabila Presiden berhalangan Wakil Presiden dapat menggantikan Presiden, Menteri tidak biasa menggantikan presiden kecuali apabila dalam waktu yang sama Wakil Presiden juga berhalangan (pasal 8 UUD 1945).

Meskipun tidak bertanggung jawab terhadap DPR akan tetapi kekuasaan Presiden tidaklah tidak terbatas. Ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukan Dewan Perweakilan Rakyat ialah kuat tidak bisa dibubarkan oleh Presiden. Menteri-menteri hanya menjalankan pouvoir executf (kekuasaan pemerintahan) dalam praktiknya.

Sebagai pemimpim departemen menteri mengetahui seluk beluk hal mengenai lingkungan pekerjaanya. Menteri mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan politik Negara melalui departemennya.

Pada masa awal pemerintahan, kekeuasaan Presiden dalam menjalankan kekuasaanya bukan hanya sekadar berdasrkan pasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14, dan 15 UUD 1945, tetapi juga berdasrkan pasal IV aturan peralihan yang berbunyi “ sebelum Majelis PermusyawaratanRakyat, Dewan Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Pertimbangan agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh presiden di Bantu oleh KOmite Nasional”. Presiden juga mempunya tugas-tugas sebagai berikut.

1. Majelis Perusyawaratan Rakyat

  1. Menetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3)
  2. Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (Pasal 3)
  3. Mengubah Undang-Undang Dasar (Pasal 37)
  4. Memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6 ayat (2))mengangkat sumpah Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 9)
  5. Pelaksana kedaulatan Rakyat (Pasal 1 ayat (2))

2. Dewan Perwakilan Rakyat

  1. Memajukan Rancangan Undang-Undang (Pasal 1 ayat (2))
  2. Mengesahkan Anggaran Keuangan Pemerintah (Pasal 23 ayat (1))

3. Dewan Pertimbanag Agung

  1. Memeberi jawab atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada Pemerintah (Pasal 6 ayat (1) dan (2)).

Berdasarkan ketentuan ayat IV Aturan Peralihan tersebut, Presiden memilki kekuasaaan yang besar, Presiden memegang kekuasaan Pemerintah dalam arti yang luas. Dalam melaksanakan tugasnya Presiden hanya dibantu oleh sebuah Komite Nasional. Akibatnya Presiden dengan sah dapat bertidak dictator karena bantuan Komite Nasional sama sekali tidak bisa dianggap merupakan pengekangan terhadap kekuasaanya.

Kekuasaan luar biasa Presiden menurut UUD 1945 akan berlangsung sampai terbentuknya MPR, DPR, dan DPA. Selam lembaga tersebut terbentuk, kekuasaan Presiden adalah mutlak.

Pada 29 Agustus 1945 PPKI telah dibubarkan oleh pesiden dan sebagai gantinya dibentuk Komisi Nasional Pusat (KNIP). Badan ini walupun keberadaannya mutlak menurut Aturan Peralihan pasal IV akan , tugasnya hanya sekedar pembantu Presiden dalm bidang yang dikehendaki.

Perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa semenjak di ciptakan perkembangan UUD 1945 telah mengalami perkembangan yang amat pesat.dua bulan dalam masa perjalanan UUD 1945, terjadi perubahan praktik ketatanegaraan, khususnya perubahan tehadap Aturan Peralihan Pasal IV, dengandikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, yang menetapkan sebagai berikut:

“Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan Legislatif dan ikut serta menentukan garis-garis besar daripada haluan Negara”

“bahwa pekerjaan Komitr Nasional Pusat sehari-hari berhubungan dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilihantara mereka serta bertanggung jawb kepada Komite Nasional Pusat”.

Apabila kita lihat dari ketentuan-ketentuan diatas, terdapat tiga hal yang penting, yaitu:

1. Komite Nasional Pusat menjadi lembaga legislative.

2. Komite Nasional Pusat ikut menetapkan garis-garis besar haluan Negara.

3. Ia membetuk Badan Pekerja yang akan bertanggung jawab kepada Komit Nasional Pusat.

Tugas legislatif yang diserahkan kepada Komite Nasional yang dimaksud, hanyalah dalam bidang pembuatan undang-undang, baik pasif maupun aktif. Tidak termasuk didalamnya hak mengontrol dan mengawasi pemerintah. Tugas itu langsung ada pada Presiden sendiri, sesuai dengan Pasal IV Aturan Peralihan.

Berdasarkan semua itu, menurut Tolchah Mansoer, sebenarnya dengan Maklumat No.X belumlah terjadi sesuatu yang fundamental dalam hubungan ketatanegaraan sebab langkah-langkah itu diambil masih dalam batas-batas Pasal IV Aturan Peralihan. Tentang bidang legislative, kalau tadinya Presiden mengerjakan nya dengan bantuan Komite Nasional, sekarang tugas itu oleh Presiden hendak diserahkan kepada Komite Nasional, artinya peranan bantuan itu didalam bidang legislative hendak diperbesar.

Kekuasaan Presiden, menuut A.K. Pringgodigdo, dikatakan dictatorial. Dengan adanya maklumat tersebut Presiden yang tadinya memiliki kekuasaan mutlak maka harus dibagi dengan komite nasional pada tnggal 16 oktober 1945.

Untuk menghindari kesalah pahaman terhadap status dan fungsi Badan Pekerja KNIP tersebut, pada 20 Oktober 1945 dikeluarkanlah penjelasan dri Badan Pekerja, yang menyatakan sebagai berikut.

1. Turut menetapkan garis-garis besar haluan Negara

Ini be arti bahwa Badan Pekerja bersama-sama dengan Presiden menetapkan garis-garis besar haluan negara. Badan Pekerja tidak berhak campur dalam kebijaksanaan (dagelijks beleid) pemerintah sehari-hari. Ini tetap ditangan Presiden semata-mata.

2. Menetapkan bersama-sama dengan Presiden undang-undang yang boleh mengenai segala macam urusan pemerintah…”

Perubahan kedua yang terjadi dalam penyelenggaraan Negara ialah dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1946. Maklumat Pemeritah ini, sebenarnya adalah suatu tindakan yang maksudnya akan mengadakan pembaruan terhadap susunan cabinet yang ada. Dengan Maklumat ini, diumumkanlah nama-nama dari mentri-mentri dalam susunan kabinet yang baru.

Semula cabinet ialah dibawah pimpinan Presiden akan tetapi stelah terbitnya maklumat tersebut kemudian menjadi dewan yang diketuai oleh perdanamentri yang dipimpin oleh Sutan Syahrir.

Dalam hal yang terpenting menurut Joeniarto, di Indonesia telah terjadi konstelasi ketatanegaraan. Jika semula UUD menganut sisim presidensil dengan maklumat tersebut prinsip pertanggung jawaban mentri dengan resmi diakui. Terjadi pergeseran kekuasaan eksekutif yang semula mentri bertanggungjawab kepada presiden sekarang terhadap perdana mentri.

Dengan dikeluarkannya maklumat pemerintah tersebut bergeserlah kekuasaan presiden dan mengubah sistim ketatanegaraan yang tadinya presidensil menjadi parlementer. Perlu dikaji apa dasar hokum kedua maklumat tersebut.

Mengenai perkembangan konstitusi tersebut menurut K.C. Wheare: “Many important changes in the working of a constitution occur without any alteration in the rules of custom and convention.” Dalam hubungan dengan UUD 1945 prnyataan ini adalah benar. Perubahan yang radikal telah terjadi tanpa suatu amandemen pada teks dari UUD sendiri.

Terhadap perkembangan ketatanegaraan Indonsia setelah lahirnya Maklumat Wakil Presiden No. X, sebenarnya belumlah terjadi perubahan yang fundamental karena maklumat itu hanya penegasan terhadap pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Hal ini sebenarnya tidak diatur didalam UUD 1945. Jadi, sebenarnya pertanggungjawaban Menti Negara kepada perdana mentri merupakan penyimpangan terhadap UUD 1945 (Pasal 17 ). Hal ini seharisnya tidak dapat terjadi tanpa melakukan perubahan terlebih dahulu terhadap Pasal 17 UUD 1945.

Sampai saat ini terjadi perdebatan dikalangan akademisi entang dasar hokum maklumat tersebut. Diantaranya, Ismail Suny berpendapat bahwa dasar hukumMaklumat tersebut adalah kebiasaan atau “convention”. Dengan cara kebiasaan politik itu maka pengaturan tanggungjawab mentri dapat pula ditimbulkan dinegri kita. Lebih lanjut suny mengatakan sebagai berikut.

“Apabila convention itu terjadi, tentulah bentuk dan cara kerja tanggungjawab mentri itu akan bersifat sementara. Jadi, sebenarnya segala sifat sementara itu baru dapat hilang kalau DPR dan MPR telah dibentuk oleh seluruh rakyat Indonesia dengan pemilihan umum.”Maka dari itu, segala perubahan pada masa sekarang yang bermaksud menyempurnbakan susunan Negara Republik Indonesia walaupun kelihatannya bertentnggan dengan UUD pantas kita sambut dengan tenang hati.

Sementara Assat mempertahankan bahwa, perbuatan Badn Pekerja itu dibenarkan Oleh Komite Nasional Pusat pada sidang III dengan persetujuan Presiden maka kekeuatannya sama dengan Undang-Undang.

Tetapi pertanyaan tersebut mnimbulkan keganjilan karena pada saat itu kita telah memilik UUD, mengapa persetujuan tersebut tidak di atur dalaam perundangan sebgaiman telah diamanatkan oleh UUD 1945. Istilah maklumat selain tidak dikkenal dalam UUD 1945 serta kedudukannya tidak jelas apakah lebih tinggi dari UUd atau lebih rendah. Jika lebih rendah ia tidak bias menagtur muatan materi yang terdapat dalam UUD dan mengubahnya dan jika lebih tinggi, tidak mungkin karena perundang-undangan terttinggi pada waktu itu ialah UUD 1945.

M. Yamin berpendapat bahwa kementerian yang bertanggunga jawab tidak sesuai dengan UUD 1945 bahkan berlawanan dengan pasal 17 UUD 1945. A.K Pringgidigdo mengomentari Assat bahwa ketentuan tersebut tidak benar dengan mendasar pada convention sebagai aturan abru yang sengaja diadakan. Sementara UUD telah mengatur cara-cara penbuatan Undang-Undang melalui ketentuyan pasal 37. jika memang hal tersebut tidak diatur maka convention dapat dibenarkan, tetapi kalau ada dalam UUD maka hal itu menyalahi aturan. Jika hal ini dibiarkan maka UUD hanya dianggap sekadar pelengkap, bias di kesampingkan dengan aturan lain.. perubahan sesungguhnya harus dilakukan oleh MPR sebagaiman telah digariskan UUD.

Sesungguhnya dengan lahirnya Maklumat tesebut telah terjadi perubahan terhadap pasal 17 UUD 1945, tanpa melalui prosedur perubahan menurut pasal 37 UUD 1945.perubahan tersebut tidak diatur dalam UUD akan tetapi dengan jalan istimewa seperti revolusi, coup d’etat, convention dan sebagainya. Hal ini dalikukan karena pada saat itu keadaan dalam kondisi darurat. Artinya, lembaa yang seharusnya dibentuk belun ada.

B. Perkembangan Konstitusi di Indonesia

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia ada empat macam Undang-Undang yang pernah berlaku, yaitu: (1­).UUD 1945, yang berlaku antar 17 Agustus 1945-27 Desember 1939; (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat; (3) UUDS 1950, yang berlaku pada 17 Agustus 1950-5 Juli 1959; (4) UUD 1945, yang berlaku setelah adanya Dekrit Presiden 5 Juli.

Dalam keempat periode tersebut, UUD 1945 berlaku selama dua kali. Pertama diundangkan dalan Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7. kedua, melalui dekrit Presiden 5 Juli 1945. Perkembangan ketatanegaraan Indonesia sejak Proklamasi dengan UUD dan Pancasila sebagai Falsafah Negara tidak berjalan dengan mulus karena Beland selalu ingin menancapkan kembali kekuasaannya.

Berbagai pengalaman pahit telah dialami bagngsa Indonesia, Belanda terus mencecar dengan memaksakan agar mengatakan kepada dunia bahwa Indonesia telah runtuh, kedaulatan telah hancur. Mereka juga secara terus menerus membuat “Negara” di tubur RI yang diakui secara defacto dngan persetujuan Linggarjati.

Pada tanggal 2 November 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar kemudian dilakukan pengesahan pda tanggal 27 Desember 1949 tentang penyerahan kedaulatan terhadap Indonesia. Dalam KMB terdapat tiga kesepakatan yaitu:

1. Mendirikan Republik Indonesia Serikat

2. Penyerahan Kedaulatan kepada RIS yang berisi tiga hal, yaitu; (a)piagam penyerahan kedaulatan dari kerajaan Belanda kepada pemerintah RIS; (b) Status uni; (c) persetujuan perpindahan;

3. mendirikan uni antar Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda.

Naskah Konstitusi RIS disusun bersama oleh delegasi REepublik Indonesia dan delegasi bijeenkomst voor federal overleg (BFO) ke KMB. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Muhammad Roem dan Prof. Dr. Soepomo yang terlibat dalam perumusan UUD. Kemudian naskah tersebut disepakati kedua belah pihak untuk diberlakukan dan di Indoenesia dikenal dengan Konstitusi RIS. Disampaikan kepada KNIP dan mendapat persetujuan pada tanggal 14 Desember 1949 kemudian dinyatakan berlaku pada 27 Desember 1949.

Negara RIS terdiri dari 16 negara bagian, tujuh Negara bagian dengan wilayah menurut status quo yang tercantum dalam Perjanjian Renvile tanggal 17 Jnuari 1948, yaitu Indonesia Timur, Pasundan, Jawa Timur, Madura, Sumatra Timur, dan Sumatra Selatan. Sembilan stuan kenegaraan yang berdiri sendiri yaitu, Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur. Negara yang terpenting dan terluas ialah Negara Sumatra Timur, Negara Sumatra Selatan, Negara Pasundan, Negara Indonesia Timur,

Sat itu presiden pertama RIS ialah Ir. Soekarno dan Drs. Mh. Htta sebagai PM pertama. Tokoh yang duduk dalam cabinet ini antara lain; dari pihak Republik Sri Sultan HB IX, Ir. Djuanda, Mr. Wilopo, Prof. Dr. Soepomo, dr. Leimena, Arnold Manunutu, Ir. Herling Loah, dan dari BFO yaitu Ide Anak Agung Gde Agung dan Sultan Hamid II. Anggota cabinet sebagian besr mendukung unitarisme hanya dri BFO ynag menginginkan Federal. Hal ini menyebabkan gerakan pembubarab Negara Federal lebih kuat terutama karena hal tersebut tidak berdasarkan landasan konsepsional.

Hasil dari KMB merupakan bukan cita-cita dari Rakyat Indonesia, hal ini tidak sesuai dengan Proklamasi 17 Agustus 1945. menurut para Founding Father KMB merupakan taktik untuk mencapai cita-cita rakyat dengan menerima hasil tersebut lambat laun Indonesia akan mendapatkan kedaulatan secara utuh, tanpa ikatan apapun.

Program utama cabinet Abdul Halim dari Negara bagian RI yaitu membentuk Negara Kesatuan dengan mengadakan sentiment anti-KMB dan RIS, yang sngat besar di Ygyakarta. Sehingga tidak sampai satu tahun tiga belas Negara bergabung dengan RI (Yogyakarta). Usaha tersebut berhasil setelah Negra Bagian Sumatra Timur dan Negara Bagian Indonesia Timur bergabung. Dengan demikin tinggak stu Negara RI;RIS mengadakan persetujuan dengan Negara RI untuk mewujudkan Negara Kesatuan dengan mengubah Konstitusi Sementar RIS menjadi UUDS kemudian disusul dengan proklamasi pemebentukan Negara Kesatuan RI oleh Presiden Soekarno dihadapan sidang senat dan DPRS tanggal 15 Agustus 1950 di Jakarta. Hal tersebut berdasarkan pasal 43 Konstitusi RIS yang berbunyi:

“Dalam penyelesaian susuna federasi RIS maka berlakulah asa pedoman, bahwa kehendak rakyatlah di daerah-daerahbersangkutan yang dinyatakan dengan merdeka menurut jalan demokrasi, memutuskan status yang kesudahannya akan diduduki oleh daerah-daerah tersebut dalm federasi.” Maka kembalilah Indonesia menjadi Negara Kesatuan atas kehendak rakyat.

Dalam rangka terbentuknya kembali negara kesatuan maka perlu menyaiapkan naskan UUD dn dibentuklah panitia yang akan menyusun rancangannya. Setelah selesai UUD tersebut disahkan oleh KNIP tanggal 12 Agustus 1950 dan oleh DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat tanggal 14 Agustus 1950 dan mulai diberlakukan pada tanggal 17 Agustus 1950, yaitu dengan ditetapkannya UU No. 7 Tahun 1950. UUDS bersifat sementara sehingga isinya tidak mencerminkan perubahan terhadap Konstitusi RIS 1949. tetapi menggantikan naskah Konstitusi RIS dengan nama Undang-Undang Dasar Sementar 1950.

C. Dekrit Presiden 5 Juli 1959

seperti halnya Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 ini juga bersifat sementara. Hal ini terlihat jelas dalam rumusan Pasal 134, yang meharuskan Konstituante bersama-sama dengan pemerintah segera menyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikanb UUDS 1950 itu. Akan tetapi, berbeda dari konstitusi RIS yang tidak sempat membentuk Konstituante sebagai mana diamanatkan didalamnya,amanat UUDS 1950 telah dilaksanakan sedemikian rupa sehingga pemilihan umum berhasil diselenggarakan pada bulan Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante. Pemilihan Umum ini diadakan berdasarkan ketentuan UU No.7 tahun 1953. Undang-undang ini berisi dua pasal. Pertama, berisi ketentuan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950; Kedua, berisi ketentuan mengenai tanggal mulai berlakunya UUDS Tahun 1950 itu menggantikan Konstitusi RIS, yaitu tanggal 17 Agustus 1950. atas dasar UU inilah diadakan pemilu tahun 1955, yang menghasilkan terbentuknya Konstituante yang diresmikan diBandung pada 10 November 1956.

Majlis Konstituante ini tidak atau beum berhasil, Presiden Soekarno berkesimpulan Konstituante telah gagal. Ia mengeluarkan Dekrit tanggal 5 juli 1959 sebagai UUD Negara Republik Indonesia selanjutnya. Tindak mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 menjadi kontroversi keputusan Presiden No. 150 Tahun 1959, dan isi dekrit yang memberlakukan membubarkan konstituante; Sejak dikeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 sampai sekarang,UUD 1945 Tterus berlaku dan diberlakukan sebagai hokum dasar.

Dekrit tersebut dikeluarkan dengan alasan:

1. bahwa anjuran Presiden dan pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945, yang disampaikan kepada segenap Rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam UUD Sementara;

2. bahwa berhubung dengan pernyataan sebagai terbesar Anggota-anggota Sidang Pembuat UUD untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat Indonesia;

3. bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang menbahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur;

4. bahwa dengan dukungan bagian terbesar Rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi;

5. bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjadi UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.

Dari perdebatan di Konstituante mengenai peraturan prosedur, disepakati bahwa hanya Konstituante yang berwenang dalam membentuk UUD baru. Sementara itu, peran pemerintah terbatas pada meresmikan dan mengumumkan UUD yang dirancang dan ditetapkan oleh Konstituante.

Selain alas an procedural yang tidak konstitusional, alas an fundamental yang menyebabkan para anggota Konstituante menolak diberlakukannya kembali UUD 1945 karena adanya kekurangan dan kelemahan yang terdapat dalam UUD 1945 itu sendiri, yakni: pertama, memberi porsi kekuasaan terlampau besar kepada eksekutif, yang memungkinkan terwujudnya pemerintahan dictator; kedua, kurang memberikan perlindungan terhadap HAM dan hak-hak warga negara; ketiga, begitu banyak loop holes yang terdapat dalam rumusan pasal-pasal UUD 1945.

Mayoritas anggota Konstituante berpendirian bahwa andaikata UUD 1945 tetap akan diberlakukan kembali, mereka mengajukan persyaratan, yaitu harus dilakukan serangkaian amandemen terhdap UUD 1945 ini. Mereka mengantisipasi akan adanya bahaya diktatur apabila UUD 1945 diberlakukan kembali secara begitu saja.

Ketika Kontituante memasuki reses pada Juni 1959, AH Nasution dengan Angkatan Daratnya memperkeras tekanan terhadap partai-partai politik. AH Nasution berhasil memperoleh jaminan dari PNI, PKI, dan NU bahwa mereka tidak akan menentang Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945.

Tindakan partai-partai tersebut dengan berbagai alasan pragmatis bias dimengerti, hanya saja sikap mereka itu kurang melihat jauh kedepan. Sostem otoriter UUD 1945 bertentangan dengan partai-partai politik, sebagaimana terbukti dalam perkembangan kemudian.

Menurut Daniel S. Lev, dibalik usul Nasution untuk kembali ke UUD 1945 terdapat beberapa pertimbangan, yakni: pertama, beberapa pasal didalam UUD 1945 dapat ditafsirkan sedemikian rupa hingga memberi tempat bagi prwakilan golongan-golongan fungsional; kedua, diberlakukannya UUD 1945 akan menghapus konstituate yang dianggap sebagai forum pertentangan ideologis; ketiga, Pmbukaan UUD 1945 mengandung pemikiran pancasila; keempat, banyak diantar perwira termasuk yang bergabung dengan pemberontak, mendukung UUD dan diharapkan akan meyakinkan perwira pemberontak bahwa wawasan Anggota Angkatan Darat yang berbeda itu, akan mengakhiri pemberontakan.selain itu juga Nasution mempertimbangkan dengan wewenag eksekutif Soekarno yang kuat dan kepercayaan rakyat akan terpadu dalam diri satu orang.

Selanjutnya, Buyung mengungkapkan secara hokum pembubaran Konstituante tidak abasah karena pemilihannya tidak langsung oleh rakyat dan tidak dalam pemilu yang demokratis, dan mengenai tugas yang tidak selesai juga tidak bias dijadikan alas an pembubaran.

Kembali kepada UUD 1945 merupakan awal runtuhnya Demokrasi, kemudian Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin untuk memenuhi kepentingan politik Soekarno dan tentara yang berwatak Otoriter. Tindakan Soekrno disebut sebagai “kudeta konstitusional”. Suatu kesalahan besar yang mennauhkan bangsa dari cita-cita “Negara konstitusional.

D. Reformasi dan Peruybahan UUD 1945

Salah satu berkah Reformasi ialah perubahan UUD 1945. dari Orde Lama dengan Demokrasi Terpimpin dan pengangkatan sebagai Presiden seumur hidup dengan ketetapan MPR merupakan salah satu penyelewengan UUD 1945 dan Orde Baru hanya melahirkan system dictator dalam kepemimpinan nagara.

Ketika Soerharto naik tahta, penyelewengan UUD 1945 kembali terulang. UUD 1945 disakralkan hanya Pemerintah Orde Baru yang boleh menafsirkan UUD, sementara MPR tinggal mengesahkan saja.dengan adanya berbagai penyelewengan kemudian seluruh celah kekurangan UUD 1945 ditutupi dengan bingkai yuridis berupa ketetapan MPR No.I/MPR/1978 tentang Peraturan Tata Tertib MPR, yang berisi tekad anggota MPR yang tidak akan merubah dan akan melaksanakan secara murnu dan konsekuen.

Hal ini sangat ironis, padahal Pasal 37 UUD 1945 memberikan aakan adanya perubahan serta penyempurnaan. Tetapi dalam praktiknya di belokkan melalui Ketetapan MPR No. I/MPR/1983 jo Tap MPR No. VII/MPR/1988 jo UU No. 5 Tahun 1985 Tentang Referendum. Sejak terjadi Reformasi UUD menjadi “desakralisasi”

Alasan perubahan UUD 1945 secara filosofis; pertama, karenaUUD 1945 adalah moment opname dari brbagai kekuatan politik dan ekonomi yang dominant pada saat dirumuskannya konstitusi itu. Setelah 54 tahun, tentu terdapat berbagai perubahan, baik ditingkat nasional maupun global. Hal ini tentu saja belum tercakup didalam UUD 1945 karena saat itu belum tampak perubahan tersebut. Kedua, UUD 1945 disusun oleh manusia yang sesuai kodratnya tidak akan pernah sampai kepada tingkat kesempurnaan. Pekerjaan yang dilakukan manusia tetapi memiliki berbagai kemungkinan kelemahan mupun kekurangan.

Dari aspek histories, dari mulai pembuatannya UUD 1945 bersifat sementara, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ir. Soekarno (Ketua PPKI), dalam rapat pertama 18 Agustus 1945, yang mengatakan sebagai berikut.

“…tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa Undang-Undang Dasar yang kita buat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan “ini adalah Undang-Undang Dasar kilat”, nanti kalau kita telah bernegara dalam susunan yang lebih tentram, kia tentu akan mengumpulkan kembali MPR yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna …”.

Seara yuridis, para perumus UUD 1945 sudah menunjukan kearifan bahwa yang mereka lakukan ketika UUD 1945 disusun tentu akan berbeda kondisinya dimasa yang akan datang dan mungkin suatu saat akan mengalami perubahan. Baik dilihat dari sejarah penyusunan maupun sebagai produk hokum yang mencerminkan pikiran dan kepentingan yang ada pada saat itu, UUD akan aus dimakan masa apadila tidak diadakan pembaruan sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat, bangsa, dan bernegara dibidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya.

Tidak ada ketentuan lain menyangkut perubahan UUD 1945 sebabtambahan muncul kemudian, yaitu melalui interpretasi histories dan filosofis oleh ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966, bahwa Pembukaan UUD 1945 dinyatakan tidak dapat dirubah.

Dorongan memperbarui atau mengubah UUD 1945 didasarkan pula pada kenyataan bahwa UUD 1945 sebagai subsistem tatanan konstitusi dalam pelaksanaannya tidak berjalan sesuai dengan staatsidee mewujudkan Negara berdasarkan konstitusi.

Secara substansip, UUD 1945 banyak sekali kelemahan.hal itu dapat diketahui antara lain; pertama kekuasaan eksekuif terlalu besar tanpa disertai oleh prinsip checks and balances yang memadai, sehingga UUD 1945 biasa disebut executive heavy, dan itu menguntungkan bagi siapa saja yang menduduki jabatan Presiden. Menurut istilah Soepomo: “concentration of power and responsibility upon the president”; kedua, rumusan ketentuan UUD 1945 sebagian besar bersifat sangat sederhana, umum, bahkan tidak jelas (vague) sehingga banyak pasal yang menimbulkan multi tafsir; ketiga, unsure-unsur konstitusionalisme tidak dielaborasi secara memadai dalam UUD 1945; keempat, UUd 1945 terlalu menekan kepada semangat penyelenggara negara; kelima, UUD 1945 memberikan atribusi kewenangan yang terlalu besar kepada Presiden unuk mengatur berbagai hal penting dalam UU. Akibatnya, banyak UU yang substansinya hanya menguntungkan si pembuatnya (Presiden dan DPR) ataupun saling bertentangan satu sama lain. Keenam, banyak materi muatan yang penting justru diatur didalam Penjelasan UUD, tetapi tidak tercantum didalam pasal-pasal UUD 1945. Ketujuh, status dan materi Penjelasan UUD 1945. persoalan ini sering menjadi objek perdebatan tentang status penjelasan karena banyak materi Penjelasan yang tidak diatur didalam pasal-pasal UUD 1945.

Fraksi-fraksi di MPR menyepakati bahwa perubahan UUD 1945 tidak menyangkut dan mengganggu eksistensi negara, tetapi dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan penyelenggaraan Negara agar lebih demokratis, seperti disempurnakannya sistem checks and balances dan disempurnakannya pasal-pasal mengenai hak asasi manusia.

Ditengah proses pembahasan perubahan UUD 1945, PAH I menyusun kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945. kesepakatan dasar itu terdiri dari lima butir, yaitu:

1. tidak mengubah Pembukaan UUD1945;

2. tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

3. mempertegas system pemerintahan presidensial;

4. penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normative dalam Penjelasan dimasukan kedalam pasal-pasal;

5. perubahan dilakukan dengan cara ”adendum”.

Pembukaan UUD 1945 memuat dasar filosofisdan dasar normative yang mendasari seluruh pasal dalam UUD1945. Pembukaan UUD 1945 mengandung staatsidee berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tujuan (haluan) Negara, serta dasar negarayang harus tetap diperhatikan.

Kesepakatan untuk tetapmempertahakan bentuk negara Indonesia, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kesepakatan dasar untuk mempertegas system pemerintahan presidensial bertujuan untuk memperkukuh system pemerintahan yang stabil dan demokratis yang dianut oleh negara Republik Indonesia dan telah dipilih oleh pendiri negara pada tahun 1945. dalam system ini terdapat lima prinsip penting, yaitu: (1) Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu institusi penyelenggaraan kekuasaan eksekutif negara yang teringgi dibawah Undang-Undang Dasar. (2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsungan karena itu secara politik tidak bertanggungjawab kepada Majlis Permusyawaratan Rakyat atau lembaga parlemen, melainkan bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang memilihnya. (3) Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum dan konstitusi. (4) Para mentri adalah pembantu Presiden. Mentri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan karena itu bertanggungjawab kepada Presiden, bukan dan tidak bertanggungjawab kepada parlemen. (5) Untuk membatasi kekuasaan Presiden yang kedudukannya dalam sistem presidensial sangat kuat sesuai kebutuhan untuk menjamin stabilitas pemerintahan, ditentukan pula bahwa masa jabatan presiden lima tahunan tidak boleh dijabat oleh orang yang sama lebih dari dua masa jabatan.

Penjelasan UUD 1945 menjadi tidak relevan lagi setelah UUD 1945 diubah sampai keempat kalinya. Dalam Aturan Tambahan Pasal II Perubahan Keempat UUD 1945, yang menegaskan:

“Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Peniadaan Penjelasan UUD 1945 dilakukan untuk menghindari kesulitan dalam menentukan status Penjelasan dari sisi sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangan.

Kesepakatan perubahan UUD 1945 dilakukan dengan cara “adendum”, yakni perubahan UUD 1945 dilakukan dengan tetap mempertahankan naskah asli UUD 1945 sebagaimana terdapat dalam Lembaran Negara No. 75 Tahun 1959 hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan naskah perubahan-perubahan UUD 1945 diletakan melekat pada naskah asli.


HUKUM, INSTITUSI SOSIAL, DAN STRATIFIKASI HUKUM

o



HUKUM, INSTITUSI SOSIAL, DAN STRATIFIKASI HUKUM


oleh:

Dhamiry El Ghazaly





A. Institusi Sosial

1. Pengertian

Dalam bahasa Inggris di jumpai dua istilah yang mengacu pada pengertian institusi (lembaga), yaitu institute dan institution. Istilah pertama menekankan kepada pengertian institusi sebagai sarana dan organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan istilah kedua menekankan pada pengertian institusi sebagai suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan

Istilah lembaga kemasyarakatan merupakan pengalih bahasaan dari istilah Inggris, social institution. Akan tetapi Soejono Soekanto menjelaskan bahwa sampai saat ini belum ada kata sepakat mengenai istilah Indonesia yang khas dan tepat untuk menjelaskan istilah tersebut. Ada yang mengatakan bahwa padanan yang tepat untuk istilah itu ialah pranata sosial yang didalamnya terdapat unsur-unsur yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat. Pranata sosial yang di tuturkan oleh Koentjaraningrat, adalah suatu sistem tata kelakuan dan tata hubungan yang berpusat pada sejumlah aktivitas masyarakat[1].dengan demikian menurut beliau, lembaga kemasyarakatan ialah sistem tata kelakuan atau norma untuk memenuhi kebutuhan. Ahli sosiologi lain berpendapat bahwa ari social institution ialah bangunan sosial.

Pengertian-pengertian social institution yang dikutip oleh Soerjono Soekanto adalah sebagai berikut.

Menurut Robert Mac Iver dan Charles H. Page, social institution ialah tata cara atau prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur manusia yang berkelompok dalam suatu kelompok kemasyarakatan.

Howard Becker mengartikan social istitution dari sudut fungsinya. Menurutnya ian merupakan jaringan dari proses hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia yang berfungsi meraih dan memelihara kehidupan hidup mereka.

Summer melihat social institution dari sisi kebudayaan. Menurut dia, ini merupakan perbuatan, cita-cita, sikap dan perlengkapan kebudayaan yang mempunyai sifat kekal yang bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat.

Dari paparan singkat mengenai institusi, dapat disimpulkan bahwa institusi mempunyai dua pengertian: pertama , sistem norma yang mengandung arti pranata; kedua, bangunan. Menurut Summer, sebagaiman dikutipoleh Selo Soemarjan dan Soelaeman soemardi,yaitu an institution consist a concept idea, nation, doctrin, interest and a structure (suatu institisi terdiri atas konsep tentang cita-cita,minat, doktrin, kebutuhan, dan struktur).

Sebagai sebuah norma institusi bersifat mengikat. Ia merupak aturan yang mengatur warga kelompok dimasyarakat. Di samping itu ia pun merupakan pedoman dan tolak ukur untuk membandingkan dan mengukur sesuatu.

Norma-norma yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, berubah sesuai dengan keperluan dan kebutuhan manusia. Maka lahirlah umpanya, kelompok norma yang menimbulkan institusi keluarga dan institusi perkawinan; kelompok norma pendidikan yang menghasilkan insstitusi pendidikan;kelompok norma hukum yamg membentuk institusi hukum; seperti peradilan; kelompok norma agam yang membentuk institusi keagamaan.

Dilihat dari daya mengikatnya, secara sosiologis norma-norma tersebut dapat dibedakan menjadi empat macam; pertama, tingkatan cara (usage); kedua, kebiasaan (folkways); ketiga, tata kelakuan (mores); keempat, adapt istiadat (custom)

Usage menunjuk pada suatu bentuk perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang. Kekuatan mengikat norma ini paling lemah dibandingkan dengan ketiga norma yang lainnya. Folkways merupakan perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama; menggambarkan bahwa kegiatan tersebut disenabgi banyak orang. Daya ikat norma ini lebih kuat daripada usage; contohnya memberi hormat kepada yang lebih tua. Tidak memberi hormat kepada yang lebih tua dianggap suatu penyimpangan.

Apabila suatu kebiasaan dianggap sebagaicara berprilaku, bahkan dianggap dan diterima sebagai norma pengatur, maka kebiasaan meningkat menjadi tahapan mores. Ia merupakan alat pengawas bagi perilaku masyarakat yang daya ikatnya lebih kuat daipada folkways dan usage.

Norma tata kelakuan yang terus menerus dalakukan sehingga integrasinya menjadi sangat kuat dengan pola-pola perilaku masyarakat, daya ikatnya akan lebih kuat dan meningkat ketahapan custom. Dengan demikian, warga masyarakat yang melanggar custom akan menderiata karena mendapat sanksi yang keras dari masyarakat[2].

Di dalam uraian telah disinggung, bahwa pergaulan hidup dalam masyarakat diatur oleh kaidah-kaidah dengan tujuan untuk mencapai tata tertib. Di dalam perkembangan selanjutnya kaidah tersebut berkelompok-kelompok berbagai keperluan pokok dari kehidupan manusia seperti kebutuhan hidup kekerabatan, kebutuhan pencarian hidup, kebutuhan akan pendidikan, kebutuhan untuk menyatakan keindahan, kebutuhan jasmaniiah diri, manusia, dan lain sebagainya.

Dari contoh yang telah diuraikan dapat diambil suatu kesimpulan bahwa lembaga-lembaga kemayarakatan terdapat didalam setiap masyarakat, karena setiap masyarakat tentu mempunyai kebutuhan-kebutuhan pokok ynag apabila dikelompokkan, terhimpun menjadi lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam berbagai bidan kehidupan.dengan demikian maka suatu lembaga kemasyarakatan merupakan himpuna daripada kaidah-kaidah dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, maka lembaga-lembaga kemasyarakatan mempunyai beberapa fungsi, yaitu:

1. Untuk memberikan pedoman kepada masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah masyarakat yang terutama menyangkut kebutuhan pokok.

2. Untuk menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan

3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial[3].

Dari penjelasan singkat tersebut terlihat nyata, bahwa tidak semua kaidah merupakan lembaga-lembaga kemasyarakatan,hanya yang mengatur kebutuhan pokok saja yang merupakan lembaga kemasyarakatan. Artinya bahwa kaidah-kaidah tersebur harus mengalami proses pelembagaan (institution nalization) terlebih dahulu, yaitu suatu proses yang dilewati oleh suatu kaidah yang baru untuk menjalanu bagian salah satu lembaga kemasyarakatan. Yang dimaksud disini ialah agar kaidah tadi diketahui, dimengerti, ditaati, dan dihargai dalam kehidupan sehari-hari. Proeses pelembagaan sebenarnya tidak berhenti demikian saja, akan tetapi dapt berlangsung lebih jauh sehingga suatu kaidah tidak saja melembaga akan tetapi bahkan menjiwai bahkan mendarah daging pada masyarakat.

B. Stratifikasi Sosial dan Hukum

Stratifikasi sosial merupakan suatu konsep dalam sosiologi yang melihat bagaimana anggota masyarakat dibedakan berdasarkan status yang dimilikinya. Status yang dimiliki oleh setiap anggota masyarakat ada yang didapat dengan suatu usaha (achievement status) dan ada yang didapat tanpa suatu usaha (ascribed status). Stratifikasi berasal dari kata stratum yang berarti strata atau lapisan dalam bentuk jamak.

Pitirin A. Sorokin mendefinisikan stratifikasi sebagai pembedaan penduduk atau anggota masyarakat ke dalam kelas-kelas secara hierarkis. Sedangkan menurut Bruce J. Cohen sistem stratifikasi akan menempatkan setiap individu pada kelas sosial yang sesuai berdasarkan kualitas yang dimiliki.

Stratifikasi dapat terjadi dengan sendirinya sebagai bagian dari proses pertumbuhan masyarakat, juga dapat dibentuk untuk tercapainya tujuan bersama. Faktor yang menyebabkan stratifikasi sosial dapat tumbuh dengan sendirinya adalah kepandaian, usia, sistem kekerabatan, dan harta dalam batas-batas tertentu.

Mobilitas sosial merupakan perubahan status individu atau kelompok dalam stratifikasi sosial. Mobilitas dapat terbagi atas mobilitas vertikal dan mobilitas horizontal. Mobilitas vertikal juga dapat terbagi dua, mobilitas vertikal intragenerasi, dan mobilitas antargenerasi.

Berkaitan dengan mobilitas ini maka stratifikasi sosial memiliki dua sifat, yaitu stratifikasi terbuka dan stratifikasi tertutup. Pada stratifikasi terbuka kemungkinan terjadinya mobilitas sosial cukup besar, sedangkan pada stratifikasi tertutup kemungkinan terjadinya mobilitas sosial sangat kecil.

Untuk menjelaskan stratifikasi sosial ada tiga dimensi yang dapat dipergunakan yaitu : privilege, prestise, dan power. Ketiga dimensi ini dapat dipergunakan sendiri-sendiri, namun juga dapat didigunakan secara bersama.

Karl Marx menggunakan satu dimensi, yaitu privilege atau ekonomi untuk membagi masyarakat industri menjadi dua kelas, yaitu kelas Borjuis dan Proletar. Sedangkan Max Weber, Peter Berger, Jeffries dan Ransford mempergunakan ketiga dimensi tersebut. Dari penggunaan ketiga dimensi tersebut Max Weber memperkenalkan konsep : kelas, kelompok status, dan partai.

Kelas sosial merupakan suatu pembedaan individu atau kelompok berdasarkan kriteria ekonomi. Untuk mendalami kelas sosial ini Soerjono Soekanto memberikan 6 kriteria tradisional.

Menurut Horton and Hunt keberadaan kelas sosial dalam masyarakat berpengaruh terhadap beberapa hal, diantaranya adalah identifikasi diri dan kesadaran kelas sosial, pola-pola keluarga, dan munculnya simbol status dalam masyarakat.

Bentuk stratifikasi dapat dibedakan menjadi bentuk lapisan bersusun yang diantaranya dapat berbentuk piramida, piramida terbalik, dan intan. Selain lapisan bersusun bentuk stratifikasi dapat juga diperlihatkan dalam bentuk melingkar. Bentuk stratifikasi melingkar ini terutama berkaitan dengan dimensi kekuasaan.

Ada tiga cara yang dapat kita lakukan untuk bisa mengetahui bentuk dari stratifikasi sosial. Ketiga cara tersebut adalah dengan pendekatan objektif, pendekatan subyektif, dan pendekatan reputasional.

Stratifikasi sosial disini diartikan sebagai perbedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat atau secata hierarkis. Oleh karena itu, para ahli sosiologi hukum biasanya mengemukakan suatu hipotesis bahwa semakain komplek stratifikasi sosial dalam masyarakat, semakin banyak hukum yang mengaturnya. Statifikasi sosial yang dimaksud, diartikan sebagai suatu keadaan yang mempunyai tolak ukur yang banyak atau ukuran yang dipergunakan sebagai indicator untuk mendudukan seseorang kedalam posisi sosial tertentu.

Sudah menjadi kenyataan yang tidak asing lagi, bahwa hukum merupaka salah satu gejala sosial sama halnya dengan ekonomi, politik, pendidikan, dan seterusnya. Bahwa telah disadari hukum dan gejala sosial lainnya saling mempengaruhi. Namun, disatu pihak, hukum dapat hukum dapat dipelajari tersendidri terlepas dari gejala sosial lainnya dan di pihak lain ada yang lebih senang mempelajari hukun dan kaitannya dengan gejala sosial lainnya.

Dalam setiap masyarakat pasti ada sesuatu yang dihargai. Sesuatu yang dimaksud akan melahirkan suatu system sosial yang berlapis-lapis atau stratifikasi sosial pada masarakat yang dimaksud. Stratifikasi sosial ialah perbedaan penduduk secara bertingkat-tingkat berdasarkan hierarkinya. Suatu contoh: masyarakat Bali mempunyai beberapa kasta. Kasta-kasta dimaksud, antara satu dengan yang lainnya tidak pernah sederajat. Selain itu dapat pula diungkapkan bahwa dalam masyarakat di Sulawesi Tengah tampak adanya masyarakat yang kaya, miskin, dan masyarakat menengah.

C. Hubungan Institusi Sosial, Stratifikasi Sosial dengan Hukum

Masalah yang dapat timbul darihubungan antara lembaga-lembaga kemasyarakatan dengan hukum ialah pertama-tama, dapatkah hukum dianggap sebagai lembaga kemasyarakatan? Dengan melihat bahwa hukum merupakan kumpulan kaidah-kaidah yang bertujuan untuk mencapai suatu kedamaian, maka dapat dikatakan bahw hukum daharapkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan ketertban dan ketentraman, yang merupakan suatu kebutuhan pokok masyarakat. Bahwa hukum merupakan lembaga kemasyarakatan, karena disamping sebagai gejala sosial (das sein), hukm juga mengandung unsure-unsur yang ideal (das sollen). Apabila telah dicapai kesepakatan bahwa hukum dakatakan sebagai lembaga kemasyarakatan, maka pertanyaan berikutnya ialah apakah hubungan hukum dengan lembaga kemasyarakatan lainnya?

Pertanyaan tersebut diatas dapat dijawab dengan menelaah macam-macam lembaga kemasyarakatan yang dapat dijumpai dalam lingkungan masyarakat. Bernacam-macam lembaga kemasyarakatantersebut antara lain disebabkan karena adanya klasifikasi tipe-tipe lembaga kemasyarakatan. Tipe-tipe lembaga kemasyarakatan tersebut dapat diklasifikasikan dari berbagai sudut. Menurut Gillin dan Gilin adalah sebagai beriut :

  1. Dari sudut perkembangannya dikenal dengan adanya crescive institution dan enacted institution. Crescive institution merupakan lembaga utama yang dengan sendririnya tumbuh dari adapt istiadat masyarakat. Sebaliknya, enacted institution, dengan sengaja dibentuk untuk memenuhi tujuan tertentu, tetapi yang tetap didasari pada kebiasaan-kebiasaan di dalam masyarakat. Pengalaman di dalam melaksanakan kebiasaan tersebut kemudian disistemanisir yang kemudian diatur dan dituangkan kedalam lembaga yang di sahkan oleh penguasa.
  2. Dari sudut system nilai yang diterima masyarakat, timbul klasifikasi atau basic institution dan subsidiary institution. Basic instiution dianggap lembaga kemasyarakatan yang amat pentibg untuk memelihara dan mempertahankan tata tertib dalam masyarakat. Sebaliknya subsidiary institution dianggap kurang penting, misalnya kegiatan-kegiatan untuk rekreasi. Ukuran apa yang embedakan apakah suatu lembaga masyarakat dianggap sebagai basic atau subsidiary berbeda pada masing-masing masyarakat dan ukuran tersebut juga tergantung pada masyarakat hidup.
  3. Dari sudut penerimaan masyarakat dapat dibedakan antara approved atau socilly sanctioned institution dengan unsanctioned institution. Yang pertama merupakan lembaga yang diterima oleh masyarakat, sedangkan yang kedua merupakan lembaga yang ditolak oleh masyarakat, walaupun kadang-kadang masyarakat tidak berhasil untuk memberantasnya.
  4. Perbedan anatara general institution dengan restricted institution terjadi apabila klasifikasi didasarkan pada factor penyebarannya.
  5. Dari sudut fungsinya, terdapat perbedaan antara operative instistution dengan regulative institution. Yang pertama berfungsi sebagai lembaga yang menghimpun pola-pola atau tata catra yang dipeerlukan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan, sedangkan yang kedua bertujun untuk mengawasi tata kelakuan yang tidak menjadi bagian mutlak dari lmbaga itu sendiri

Setiap masyarakat yang mempunya system nilai-nilai yang menentukan lembaga kemasyarakatan manakah yang dianggap sebagai pusat dari pergaulan hidup masyarakat yang kemudian dianggap sebagai lembagai sebagai posisi teratas.

Dengan melihat uraian diatas, maka tidak mudah untuk menentukan hubungan hukum denga lembaga kemasyakatan yang lain terutama dal menentukan hubungan timbale baik yang ada. Hal ini bergantung pada nilai masyarakat dan pusat perhatian penguasa terhadap aneka lembaga kemasyarakatan. Dan sedikit banyaknya ada pengaruh dari anggapan-anggapan tentang kebutuhan apa yang pada suatu saat merupakan kebutuhan pokok.

Lembaga kemasyarakatan yang ada pada suatu waktu mendapat penilaian tertinggi dari masyarakat, mungkin lembaga kemayarakatan yang mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap lembaga-lembaga lainnya. Namun demikian, lembaga kemasyarakatan yang primer dal, suatu masyarakat apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. sumber hukum tersebut mempunyai wewenang (authority) dan wibawa (prestigeful)

2. hukum tadi jelas secara yridis, folosofis maupun sosiologis;

3. penegak hukum dapat dijadikan telada bagi factor kepatuhan terhadap hukum;

4. diperhatikannya factor pengendapan hukm di dalam jiwa pada masyarakat;

5. sanksi-sanksi yang negative maupun positif dapat dipergunakan untuk menunjang hukum;

6. para penegak dan pelaksana hukum harus merasa diriny terikat pada hukum yang diterapkan dan membuktikannya di dalam pola perilakunya;

7. perlindungan yang efektif terhadap mereka yang terkena aturan hukum.

Paul Bohannan menyatakan sebagiamana dikutip oleh Soerjono Soekanto bahwa, suatu lembaga hukum merupakan suatu alat yang dipergunakan oleh warga masyarakat untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi dan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan daripada aturan yang terhimpun dalam berbagai lembaga kemasyarakatan.

Bohannan selanjutnya mengatakan, bahwa hukum terdiri atas aturan dan kebiasaan yang telah mengalami proses pelembagaan kembali (reinstitutionialized) artinya, kebiasaan-kebiasaan dari lemaga kemasyarakatan tertentu diubah sedemikian rupa sehingga dapat dipergunakan oleh lembaga-lmebaga kemasyarakatan lainnya yang memang dibentu untuk maksud tersebut. Lembaga-lembaga hukum berbeda dengan lembaga kemasyarakatan lainnya atas 2 (dua) dasar criteria, yaitu pertama-pertama, lembaga hukum memberi ketentuan tentang tata cara menyelesaikan perselisihan yang timbul dalam hubungannya dengan tugas-tugas kemasyarakatan lainnya. Selain itu lembaga hukum mencakup dua jenis aturan, yakni penerapan kembali daripada aturan-aturan lembaga nonhukum (yaitu hukum substantife) dan aturan yang menatur daripada lembaga-lembaga hukum itu sendiri (yaitu hukum ajektif).

Hubungan antar kekuasaan, lapisan social dan hukm dikatan Mclver sebagai berikut:

“Every conferment of right, civil of political, and an originally subjeck class narrows the distances between rules dan ruled and involves a change not only in the distribution, but also in the distribution, but also in the character of power. The investment of a subjeck class with right is conferment of degree of a power on them, the power top pursue new apportunities, to seek new objectives, to give ekspresioan to their opinions”

Melalui system hukum, hak dan kewajiban ditetapkan untuk warga masyrakat yang menduduki posisi tertentu kepada seluruh masyarakat. Hak dan kewajiban mempunyai sifat timbal balik, artinya hak seseorang menyebabkan timbulnya kewajiban pada pihak lain dab sebaliknya. Sejalan dengan itu, kebebasan yang diberikan kepada golongan-golonagn tertentu, menyebabkan pembatasan pada golongan lainnya. Dengan demikian dapat dikatakna bahwa hukum merupakan refleksi dri pembagian kekuasaan dan memberi pengaruh terhadap lapisan social dalam masyarakat.

System lapisan social ada yang dibentuk secara sengaja, seperti yang terdapat pada institusi-institusi, lembaga-lembaga yang ada pada pemerintah dan lembaga lainya. Suatu lapisan social yang tidak sengaja dibentuk, menghasilkan hak dan kewajiban tertentu bagi warganya, antara lain dapat dijumpai pada masyarakat tani daerah pedesaan di Jawa. Para petani biasaya membedakan antar wong baku, lapisan tertinggi yang terdiri dari orang-orang yang prtama tingal untuk menetap di desa yan bersangkutan, kemudian lapisan kedua yang disebut kuli gandok atau lindung yang terdiri lak-laki yang telah berkeluarga dan lapisan ketiga yang terdiri dari bujangan yang dinamakan joko atu sinoman. Masing-masing lpisan tadi mempunyai hak dan kewajiban yang dengan tegas dibedakan sera dipertahankan melalui system pengendalian social yang ada.

Sehubungan yang telah dijelaskan, dapatlah ditemukan paling sedikit dua hipotesis, yakni:

  1. semakin tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi, semakin sedikit hukum yang mengaturnya
  2. semakin rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi semakin banyak huku yang mengaturnya.






Dalam uraian yang telah dipaparkan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa melihat bahwa hukum merupakan kumpulan kaidah-kaidah yang bertujuan untuk mencapai suatu kedamaian, maka dapat dikatakan bahw hukum daharapkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan ketertban dan ketentraman, yang merupakan suatu kebutuhan pokok masyarakat. Bahwa hukum merupakan lembaga kemasyarakatan, karena disamping sebagai gejala sosial (das sein), hukum juga mengandung unsur-unsur yang ideal (das sollen). Apabila telah dicapai kesepakatan bahwa hukum dakatakan sebagai lembaga kemasyarakatan,kemudian kita lihat hubungan hukum dengan lembaga kemasyarakatan lainnya dengan cara menelaah macam-macam lembaga kemasyarakatan yang dapat dijumpai dalam lingkungan masyarakat. Bermacam-macam lembaga kemasyarakatan tersebut antara lain disebabkan karena adanya klasifikasi tipe-tipe lembaga kemasyarakatan. Setiap masyarakat yang mempunya system nilai-nilai yang menentukan lembaga kemasyarakatan manakah yang dianggap sebagai pusat dari pergaulan hidup masyarakat yang kemudian dianggap sebagai lembagai sebagai posisi teratas.

Para sarjana hukum dan sosiologi telah mencoba untuk menelaah antar struktur social dan hukum. Walaupun tidk secara mendalam, telah pula diusahakan untuk mengemukakan persoalan apakah hukum yang lebih penting dari struktur ssosial atau sebaliknya. Dari sekian banyak usaha yamh telah dilakukan melalui keterangan diatas dapat ditarik kesimpulan yang didasarkan pada kegunaan menelaah hubungan antara struktur dengan hukum.

Bagi para sosiolog, nyata bahwa hukum merupakan lembaga kemasyarakatan fungsional yang berhubungan dan saling pengaruh mempengaruhi dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.hukum dan kedaan tertentu menyesuaikan diri dengan struktur ssosial, tetapi dalam keadaan lain hal sebaliknya terjadi. Dan gejala ini merupakan bagian dari proses socialyang terjadi secara menyeluruh.

Para ahli atau sarjana hukum, hubungan antara sruktur social dengan hukum memberikan pengertian yang lebih mendalam tentang lingkungan social-budaya dimana hukum berlaku. Disamping itu, merek pun mendapat menelaah dalam keadaan-keadaan apakah hukum meruakan depedent variabl dan bilamana hukum meupakan independent variabl di dalam hubungan dengan gejala social lainny. Dengan mempelajari struktur social, disamping pengetahuan hukum.

Melalui system hukum, hak dan kewajiban ditetapkan untuk warga masyrakat yang menduduki posisi tertentu kepada seluruh masyarakat. Hak dan kewajiban mempunyai sifat timbal balik, artinya hak seseorang menyebabkan timbulnya kewajiban pada pihak lain dab sebaliknya. Sejalan dengan itu, kebebasan yang diberikan kepada golongan-golonagn tertentu, menyebabkan pembatasan pada golongan lainnya. Dengan demikian dapat dikatakna bahwa hukum merupakan refleksi dri pembagian kekuasaan dan memberi pengaruh terhadap lapisan social dalam masyarakat.

Sehubungan yang telah dijelaskan, dapatlah ditemukan paling sedikit dua hipotesis, yakni;(1) semakin tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi, semakin sedikit hukum yang mengaturnya; (2) semakin rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi semakin banyak hukum yang mengaturnya.

DAFTAR PUSTAKA

Atang Abd. Hakim,Jaih Mobarok.

1999.Metodologi studi Islam.Bandung:PT. Remaja Rosda Karya

Soelaiman,Munandar.

1986.Ilmu social Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial.Bandung:Refika Aditama

Soerjono,Soekanto.

1980.Pokok-Pokok Sosiologi Hukum.Bandung:Raja Grafindo Persada

Soemarjan,Selo dan soelaiman Soemardi.

1964. Setangkai Bunga Sosiologi.Jakarta:Fakultas Ekonomi UI


[1] Atang Abd Hakim,Jaih Mubarok.Metodologi Studi Islam. (Bandung:Remaja Rosda Karya,1999)hlm.130

[2] Selo Soemarjan dan Soelaiman Soemardi. Setangkai Bunga Sosiologi (Jakarta:Fakultas Ekonomi UI,1964) hlm. 61.

[3] Soerjono Soekanto. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta:Grafindo Persada,1980) hlm. 78.