Sabtu, 09 Januari 2010

LEMBAGA KEMENTERIAN NEGARA

KEMENTRIAN NEGARA

oleh
Dhamiry El-Ghazaly

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perbincangan mengenai kelembagaan pemerintah di Indonesia saat ini tidak lagi sekedar mengulas segi-segi struktural organisasi pemerintahan, tetapi telah menukik pada dasar filosofis, sosiologis dan yuridis ketatanegaraan republik ini yang telah tertuang dalam empat amandemen Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hal yang perlu diperhatikan dalam perubahan struktur ketatanegaraan yang baru tersebut adalah diadopsinya prinsip-prinsip baru mengenai pemisahan kekuasaan dan ‘check and ballances’ sebagai pengganti sistem supremasi parlemen.
Konsekuensinya, telah terjadinya perubahan peran, tugas dan fungsi lembaga negara dalam penyelenggaraan negara. Salah satu hal menarik terkait dengan perubahan struktur ketatanegaraan tersebut adalah amandemen terhadap Pasal 17 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang saat ini menjadi berbunyi sebagai berikut:
(1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
(4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.
B. Rumusan Masalah
1. Sebutkan 5 (lima) kesepahaman yang disepakati oleh DPR dengan Pemerintah untuk menetapkan Undang-Undang tentang Kementerian Negara yang diperlukan sebagai batu acuan (milestone) dalam menyusun kelembagaan pemerintahan?
2. Sebutkan Kelembagaan kementerian yang dilandasi klasifikasi urusan sebagaimana disebut dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara?
3. Bagaimana susunan organisasi kementerian Negara pada umumnya?
4. Kapan Implementasi Undang-undang Kementerian Negara akan dapat dirasakan?





BAB II
PEMBAHASAN
A. Kelembagaan Kementerian Negara Berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 17 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada dasarnya mengatur tentang keberadaan “penyelenggara negara” yang mempunyai peran strategis dalam mewujudkan tujuan negara. Penyelenggara negara itu mengarah pada Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar dan dalam menjalankan kekuasaanya tersebut, Presiden dibantu oleh sejumlah menteri.
Dalam perjalanan kehidupan bangsa baru kali inilah, terjadi kesepakatan antara DPR dengan Pemerintah untuk menetapkan Undang-Undang tentang Kementerian Negara. Peraturan perundang-undangan tersebut diperlukan sebagai batu acuan (milestone) dalam menyusun kelembagaan pemerintahan. Sebagai bagian dari semangat reformasi birokrasi, Undang-Undang tentang Kementerian Negara dibangun di atas pondasi akuntabilitas publik yang lebih jelas. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya lima kesepahaman antara DPR dengan Pemerintah.
Pertama, Undang-Undang tentang Kementerian Negara menegaskan kembali bahwa Presiden dibantu oleh para menteri yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Oleh karena itu, juga ditegaskan bahwa Presiden memiliki hak prerogatif dalam menyusun kementerian negara yang akan membantunya dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan.
Hadirnya Undang-Undang ini akan memudahkan Presiden dalam menyusun kelembagaan kementerian negara, karena secara jelas dan tegas Undang-Undang ini mengatur mengenai kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan organisasi kementerian negara. Presiden juga diberikan payung hukum yang kuat dalam membentuk dan mengubah Kementerian melalui kriteria-kriteria yang diperlukan dalam melakukan pembentukan dan pengubahan Kementerian, Misalnya suatu kementerian dibentuk dengan pertimbangan adanya perkembangan lingkungan global.
Sedangkan pengubahan suatu kementerian dapat dilakukan dengan pertimbangan adanya kebutuhan penanganan urusan tertentu dalam pemerintahan secara mandiri.
Kedua, meskipun memberikan ruang bagi penggunaan hak prerogatif Presiden, Undang-Undang ini tidak mengesampingkan peranan DPR. Oleh karena itu, Undang-Undang ini mengatur bahwa jika Presiden hendak melakukan pengubahan dan pembubaran kementerian negara, maka Presiden perlu terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari DPR.
Sedangkan persetujuan DPR diperlukan apabila ada kebutuhan dari Presiden untuk membubarkan kementerian yang menangani urusan agama, hukum, keuangan dan keamanan. Di sisi lain, Presiden tidak dapat membubarkan kementerian luar negeri, dalam negeri dan pertahanan sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketiga, dengan didasari semangat untuk mendorong dilakukannya reformasi birokrasi guna terwujudnya struktur pemerintahan yang efisien dan efektif, Undang-Undang ini mengatur pembatasan jumlah kementerian negara yang dapat dibentuk oleh Presiden, yaitu paling banyak 34 (tiga puluh empat) kementerian negara. Namun demikian, perlu dipahami bahwa seluruh urusan pemerintahan sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi harus tetap dijalankan oleh kementerian negara dalam jumlah yang paling efisien, yaitu paling banyak 34 (tiga puluh empat) kementerian negara atau kurang dari jumlah tersebut.
Meskipun ada pembatasan, Undang-Undang ini tetap memberikan keleluasaan kepada Presiden untuk mewadahi suatu urusan pemerintahan dalam satu kementerian dan/atau menggabungkan dua atau lebih urusan pemerintahan dalam suatu kementerian negara tertentu.
Keempat, Undang-Undang ini tidak mencantumkan nomenklatur/penamaan kementerian negara secara definitif, tetapi menggunakan pendekatan urusan-urusan pemerintahan yang harus dijalankan oleh Presiden secara menyeluruh dalam rangka pencapaian tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Prinsip dalam pendekatan urusan ini adalah bahwa seluruh urusan yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara harus ditampung dalam kementerian sehingga satu kementerian dapat menangani satu atau lebih urusan pemerintahan (vide Pasal 6) sesuai dengan pengorganisasian yang diserahkan kepada Presiden.
Hal ini juga memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi Presiden dalam menyusun kementerian negara. Pendekatan urusan-urusan pemerintahan tersebut dimaksudkan untuk lebih menitikberatkan pada upaya mewujudkan pemerintahan yang efektif dan efisien serta mampu meningkatkan pelayanan publik yang prima.
Kelima, Undang-undang ini mengatur pula mengenai hubungan fungsional antara Kementerian dengan Lembaga Pemerintah Nonkementerian yang selama ini dikenal sebagai Lembaga Pemerintah NonDepartemen. Sebagai lembaga pelaksana tugas khusus yang dimandatkan oleh Presiden, Lembaga Pemerintah NonKementerian berada di bawah koordinasi Menteri yang bersesuaian dengan bidang tugasnya.
Pengaturan mengenai hal ini penting mengingat pembentukan kementerian negara semestinya didasarkan pada konsep pembagian habis urusan pemerintahan guna mewujudkan visi, misi dan strategi yang telah ditetapkan.
B. Kelembagaan Kementerian Negara Berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008
Undang Undang tentang Kementerian Negara yang terdiri atas 9 (sembilan) BAB dan 28 (dua puluh delapan) Pasal merupakan titik tolak bagi penataan kelembagaan pemerintahan yang selama ini diatur dalam tingkatan perundang-undangan Presiden. Ada perubahan yang cukup mendasar dalam konfigurasi jenis kementerian negara yang semula terdiri dari 3 (tiga) jenis kementerian yaitu Kementerian Koordinator, Departemen, dan Kementerian Negara menjadi hanya satu jenis yaitu dengan sebutan Kementerian.
Keberadaan Undang Undang ini mengisyaratkan adanya tanggung jawab bersama dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik (good governance) antara Pemerintah/Presiden, sektor swasta, dan masyarakat. Hal ini terlihat misalnya pada pelarangan rangkap jabatan bagi Menteri yang menjadi komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta. Menteri juga tidak boleh merangkap jabatan menjadi pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD.
Kelembagaan kementerian dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dilandasi klasifikasi urusan sebagaimana disebut dalam Pasal 4 ayat (2), yang terdiri atas:
a. Urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD 1945, meliputi urusan luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan.
b. Urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945, meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, HAM, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, social, ketenagakerjaan, industry, perdagangan, pertambangan, energy, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan.
c. Urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi dan sinkronisasi program pemerintah, meliputi: urusan perencanaan pembangunan nasional, aparatur Negara, kesekretariatan Negara, BUMN, pertanahan, kependudukan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, teknologi, investasi, koperasi, UKM, pariwisata, pemberdayaan perempuan, pemuda, oleh raga, perumahan, dan pembangungan kawasan atau daerah tertinggal.
Pembedaan urusan pemerintahan yang ditangani tersebut akan menentukan bentuk susunan organisasi dari kementerian negara yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008.
Namun demikian, pada umumnya susunan organisasi kementerian Negara terdiri atas: unsur pemimpin (Menteri), unsur pembantu pemimpin (Sekretariat Jenderal atau Sekretariat Kementerian), unsur pelaksana (Direktorat Jenderal atau Deputi), unsur pengawas (Inspektorat Jenderal atau Inspektorat), serta unsur pendukung (Badan dan/atau Pusat, bagi kementerian yang melaksanakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2)) dan unsur pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau di luar negeri (bagi kementerian yang melaksanakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan kementerian yang menangani urusan agama, hukum, keuangan, dan keamanan. Di samping itu, bagi kementerian tertentu dapat diangkat Wakil Menteri apabila kementerian tersebut mempunyai beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus.
Pembagian susunan organisasi sebagaimana tersebut di atas didasari pada pendekatan fungsi manajemen serta dalam rangka upaya untuk menyerasikan proses internal organisasi dengan lingkungan eksternal. Susunan tersebut diharapkan dapat merefleksikan peran-peran yang diperlukan dalam suatu organisasi kementerian secara efisien. Namun demikian, pengaturan susunan organisasi dalam Undang-undang Kementerian Negara masih bersifat umum. Susunan organisasi yang lebih rinci akan diatur dalam peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Presiden (vide Pasal 11).
Implementasi Undang-undang Kementerian Negara akan dapat dirasakan secara nyata setelah Presiden membentuk kabinet karena pada saat tersebut Presiden akan mengangkat menteri-menteri dan menyusun kementerian negara berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008. Berdasarkan Pasal 16, Presiden terpilih nantinya harus sudah membentuk kementerian paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak Presiden mengucapkan sumpah/janji (pelantikan).
Implementasi Undang-undang Kementerian Negara ini juga dapat menjadi momentum yang baik untuk menata kembali kelembagaan pemerintah secara keseluruhan agar lebih proporsional, efisien, dan efektif dan dapat menjalankan fungsi pelayanan publik yang prima.
Hingga saat ini kelembagaan pemerintah dinilai masih kurang efisien dan masih jauh dari kondisi ideal yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, Undang-undang Kementerian Negara akan mengembalikan lagi peran-peran yang harus dilaksanakan oleh lembaga-lembaga tersebut secara lebih tepat.
Sebagai contoh, dengan adanya fenomena menjamurnya lembaga non struktural, nantinya perlu dipilah peran yang dapat dilakukan lembaga non struktural sehingga tidak mengambil alih fungsi-fungsi kementerian negara karena berdasarkan UUD 1945 dan UU Nomor 39 Tahun 2008 urusan pemerintahan, termasuk perumusan kebijakan terkait dengan urusan pemerintahan tersebut adalah menjadi kewenangan kementerian negara.
Dengan demikian, Undang-undang Kementerian ini diharapkan menjadi milestone untuk menata kembali kelembagaan pemerintahan sehingga nantinya dapat dihasilkan konfigurasi kelembagaan yang lebih baik dengan peran-peran yang tepat dan secara sinergis dapat menjadi birokrasi yang dapat menjalankan fungsi pemerintahan dan penyelenggaraan Negara secara lebih baik di masa yang akan datang.



















BAB III
KESIMPULAN
Peraturan perundang-undangan yang sebagai batu acuan (milestone) dalam menyusun kelembagaan pemerintahan, sebagai bagian dari semangat reformasi birokrasi, Undang-Undang tentang Kementerian Negara dibangun di atas pondasi akuntabilitas publik yang lebih jelas. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya lima kesepahaman antara DPR dengan Pemerintah.
Pertama, Undang-Undang tentang Kementerian Negara menegaskan kembali bahwa Presiden dibantu oleh para menteri yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Oleh karena itu, juga ditegaskan bahwa Presiden memiliki hak prerogatif dalam menyusun kementerian negara yang akan membantunya dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan.
Kedua, meskipun memberikan ruang bagi penggunaan hak prerogatif Presiden, Undang-Undang ini tidak mengesampingkan peranan DPR. Oleh karena itu, Undang-Undang ini mengatur bahwa jika Presiden hendak melakukan pengubahan dan pembubaran kementerian negara, maka Presiden perlu terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari DPR.
Ketiga, dengan didasari semangat untuk mendorong dilakukannya reformasi birokrasi guna terwujudnya struktur pemerintahan yang efisien dan efektif, Undang-Undang ini mengatur pembatasan jumlah kementerian negara yang dapat dibentuk oleh Presiden, yaitu paling banyak 34 (tiga puluh empat) kementerian negara. Namun demikian, perlu dipahami bahwa seluruh urusan pemerintahan sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi harus tetap dijalankan oleh kementerian negara dalam jumlah yang paling efisien, yaitu paling banyak 34 (tiga puluh empat) kementerian negara atau kurang dari jumlah tersebut.
Keempat, Undang-Undang ini tidak mencantumkan nomenklatur/penamaan kementerian negara secara definitif, tetapi menggunakan pendekatan urusan-urusan pemerintahan yang harus dijalankan oleh Presiden secara menyeluruh dalam rangka pencapaian tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kelima, Undang-undang ini mengatur pula mengenai hubungan fungsional antara Kementerian dengan Lembaga Pemerintah Nonkementerian yang selama ini dikenal sebagai Lembaga Pemerintah NonDepartemen. Sebagai lembaga pelaksana tugas khusus yang dimandatkan oleh Presiden, Lembaga Pemerintah NonKementerian berada di bawah koordinasi Menteri yang bersesuaian dengan bidang tugasnya.

Kelembagaan kementerian dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dilandasi klasifikasi urusan sebagaimana disebut dalam Pasal 4 ayat (2), yang terdiri atas:
a. Urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD 1945, meliputi urusan luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan.
b. Urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945, meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, HAM, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, social, ketenagakerjaan, industry, perdagangan, pertambangan, energy, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan.
c. Urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi dan sinkronisasi program pemerintah, meliputi: urusan perencanaan pembangunan nasional, aparatur Negara, kesekretariatan Negara, BUMN, pertanahan, kependudukan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, teknologi, investasi, koperasi, UKM, pariwisata, pemberdayaan perempuan, pemuda, oleh raga, perumahan, dan pembangungan kawasan atau daerah tertinggal.
pada umumnya susunan organisasi kementerian Negara terdiri atas: unsur pemimpin (Menteri), unsur pembantu pemimpin (Sekretariat Jenderal atau Sekretariat Kementerian), unsur pelaksana (Direktorat Jenderal atau Deputi), unsur pengawas (Inspektorat Jenderal atau Inspektorat), serta unsur pendukung (Badan dan/atau Pusat, bagi kementerian yang melaksanakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2)) dan unsur pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau di luar negeri (bagi kementerian yang melaksanakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan kementerian yang menangani urusan agama, hukum, keuangan, dan keamanan. Di samping itu, bagi kementerian tertentu dapat diangkat Wakil Menteri apabila kementerian tersebut mempunyai beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus.
Implementasi Undang-undang Kementerian Negara akan dapat dirasakan secara nyata setelah Presiden membentuk kabinet karena pada saat tersebut Presiden akan mengangkat menteri-menteri dan menyusun kementerian negara berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008. Berdasarkan Pasal 16, Presiden terpilih nantinya harus sudah membentuk kementerian paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak Presiden mengucapkan sumpah/janji (pelantikan).
Implementasi Undang-undang Kementerian Negara ini juga dapat menjadi momentum yang baik untuk menata kembali kelembagaan pemerintah secara keseluruhan agar lebih proporsional, efisien, dan efektif dan dapat menjalankan fungsi pelayanan publik yang prima.

BANK ISLAM DAN PEREKONOMIAN DI INDONESIA

BANK ISLAM DAN PEREKONOMIAN DI INDONESIA

Dhamiry El-Ghazaly

A. Relevansi Sistem Perbankan Islam Pada Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
1. Peran Strategis Perbankan dalam Pembangunan
Bank merupakan lembaga keuanganyang sangat penting dalam menjalankan kegiatan perekonomian dan perdagangan. Masyarakat banyak menaruh harapan kepada bank untuk menjadi tempat penyimpanan dana yang aman bagi perusahaan, badan-badan pemerintahan dan suasta, maupun perorangan. Bank juga diharapkan dapat melakukan perbuatan perkeriditan dan berbagai jasa keuangan yang dapat melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme system pembayaran bagi semua sector perekonomian. Denganmemberikan kredit kepada beberapa sector perekonomian, bank diharapkan melancarkan arus barang dan jasadari produsen kepada konsumen. Bank juga merupakan pemasok dari sebagian besar uang yang beredaryang dipergunakan sebagai alat tukar atau sebagai alat pembayaran, sehingga diharapkan dapat mendukung berjalannya mekanismekebijakan moneter.
Perbankan di Indonesia telah membuktikan peranannya dalam ikut serta membangun ekonomi nasional selama ini, sehingga dengan demikian mempunyai andil juga dalam terjadinya kerisis ekonomi tahun 1997 sampai sekarang ini. Sementara itu selama berjalannya kerisis ekonomi telah terjadi malapetaka perbankan nasional dengan dilikuidasinya sebanyak 16 bank dan setelah itu menyusul sebanyak 10 bank beku oprasi, sebanyak 5 bank dikuasai pemerintah (bank take over), dan sebanyak 40 bank berada di bawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Menteri keuangan bahkan dihadapan Sidang Tahunan ke-7 World Economic Development Congress di Washington DC., tanggal 2 Oktober 1998, mengetahui bahwa bank-bank di Indonesia telah gagal memainkan peran fungsi dasar-dasarnya. Dijelaskannya, bahwa fungsi tersebut ialah memobilisasi tabungan domestic dan asing, serta menyalurkan dana-dana tersebut secara efektif ke kegiatan-kegiatan usaha yang paling produktif atau yang paling menguntungkan secara financial.
Bank Islam baru diakui berdirinya pada tahun 1992 menusul diundangkannya Undang-Undang No.7 Tahun 1992. Hingga tahun1998 baru berdiri satu bank umum syaria, yaitu PT Bank’ Muamalat Indonesia, dan ada 77 Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Jumlah Bank Islam yang masih sangat terbatas menunjukan posisi yang belum menentukan, baik dalam ikut membangun perekonomian nasional maupun dalam terjadinya krisis ekonomi yang dimulai tahun 1997 hingga sekarang. Selama berjalan krisis ekonomi, Bank Muamalat Indonesia tetap sehat, demikian banyak 30% dari Bank Perkreditan Rakyat Syariah dinilai sehat.
Realita ini mengundang pertanyaan sejauh mana relevansi Bank Islam dengan upaya bangsa Indonesia utuk memulihkan dan membangun kembali perekonomiannya. Untuk itu pertama kali perlu dibahas profil pembangunan perekonomianInonesia, dan profil oprasional Bank Islam. Dengan membahas keduanya akan akan dilihat benag merah relevansi Bank Islam dengan perekonomian Indonesia.
2. Profil Upaya Pembangunan Perekonomian Indonesia
Indonesia adalah negara yang sedang membangun dengan sasaran peningkatan kesejahteraan materiil dan spiritual. Kesejahteraan materiil biasanya diterjemahkan dalam bentuuk berupa peningkatan kesejahteraan lahir, yaitu antara lain: peningkatan pendapatan perkapitapenduduk, tersedianya cukup sandang dan pangan, tersdia papan yang layak, tersedianya kesempatan kerja dan berusaha, tersedianya kesempatan memperoleh pendidikan, tersedianya kesempatan memperolehperawatan kesehatan, dan lain-lain. Sedangkan kesejahteraan sepiritual biasa diterjemahkan dalam bentuk peningkatan kesejahteraan batin yaitu: peningkatan kecerdasan, peningkatan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan lain-lain.
Untuk mencapai sasaran pembangunan tersebut diatas, ada tiga upaya yang harus dilakukan, yaitu pertama mengupayakan terjadinya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, melalui perencanaan pembangunan yang berkesinambungan, berpedoman pada GBHN, REPELITA, dan APBN, serta mengupayakan terciptanyaiklim investasi yang cukup mendukung, dalam bentuk tingkat bunga yang rendah, tersedianya sarana dan prasaranayang memadai, tersedianya Sumber Daya Manusiayang terampil dan terdidik, dan lain-lain.selain dari pada itu, untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi diperlukan pula kebijaksanaan dibidang kependudukan, yaitu: pengendalian pertumbuhan penduduk, melalui keluarga berencana dan transmigrasi, dan peningkatanproduktifitas dfan efisiensi, melalui kualitas Sumber Daya Manusia (untuk ICOR yang rendah).
Upaya kedua untuk mencapai sarana pembangunan, yaitu mengupayakan pemerataan pertumbuhan ekonomi dan hasil-hasilnya, yaitu melalui kebijaksanaan dibidang investasi (negatif list), kebijaksanaan fisikal dan moneter, seperti antara lain penerapan perpajakan yang adil, alokasi APBN (IDT), alokasi kredit perbankan, alokasi laba BUMN, dan melalui kebijaksanan untuk kelancaran arus barang dan jasa, serta informasi.
Untuk mencapai sasaran pembangunan perlu dilakukan juga sebagai upaya ketiga pemulihan dan pemliharaan stabilitas politik dan ekonomi yang mantap berupa: kelangsungan system kepemimpinan nasional melalui system politik yang demokatis, adanya stabilitas keamanan, adanya stabilitas harga dengan tingkat inflasi dibawah 10%, adanya aparatur yang bersih dan berwibawa, dan lain-lain.
Paradigma baru yang berkembang pada masa kerisis ekonomi tahun1997 dan 1998 adalah perlu diperkembangkannyaekonomi kerakyatan, dimana pertumbuhan ekonomi, di dorong dari bawah. Hal ini berarti diperlukannyaalokasi sumber daya untuk membangkitkan golongan ekonomi lemah dan koprasi. Kepemilikan alat-alat produksi yang penting serta prasarana ekonomi yang strategis perlu direstrukturisasi sehingga tidak dikuasai olh hanya segelintir orang. Monopoli dan oligopoly juga perlu dicegah, karna hnya akan membebani masyarakat dan hanya akan dinikmati oleh segelintir orang. Masalahnya yang dihadapi sekarang adalah apakah prasarana ekonomi seperti lembaga keuangan akan dapat mendukung terwujudnya paradigm baru tersebut. Tingkat bunga yang sangat tinggi pada masa krisis sampai 65% setahun jelas tidak mendukung berkembangnya ekonomi kerakyatan. Oleh karena itu, diperlukan perangkat lembaga keuangan baru yang tentunya bukan berupa bunga.
3. Profil Oprasional Bank Islam
Pada setiap rumusan pertimbangan yang merupakan pokok-pokok pikiran dikeluarkannya suatu peraturan perundang-undangan pebankan disebutkan antara lain hal-hal sebagai berikut:
Untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undan-Undang Dasar 1945.
Pembangunan nasional merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undan-Undang Dasar 1945.
Pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berasaskan kekluargaan harus lebih memperhatikan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan unsure-unsur Trilogi Pembangunan.
Perbankan yang berasasan demokrasi ekonomi dengan fungsi utamanya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.
Memiliki peranan yang strategis untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional.
Dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional, kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.
Sebagai mana dapat dikaji pada profil oprasional perbankan Islam dibawah ini, konsep yang melekat (build in concept) pada perbankan Islam dapat memenuhi pokok-pokok pikiran tersebut diatas.
Sebelumnya telah diuraikan tentang ciri khas Bank Islam yang lebih menampilkan profil kebersamaan dalam menanggung resiko usahadan bagihasilmelalui deposito mudharabah dan tabungan mudharabah serta pembiayaan mudharabah an pembiayaan musyarakah dengan system bagi hasil.
Profil Bank Islam pada sisi pengarahan dana ditampilkan dalam bentuk kebersamaan dalam mmperoleh bagi hsil dari usaha bank, baik pada waktu perekonomian nasional sedang bergairah maupun perekonomian nasional sedang lesu. Secara otomatis para pemegang rekening tabungan mudharabah dan deposito mudharabah maengikuti naik turunnya pendapatan bersama dengan naik turunya hasil usaha bank karena situasi perekonomian yang berlaku pada waktu itu.
Sementara itu pada bank konvensional, para pemgang rekening tabungan dan rekening deposito tetap harus diberikan bunga yang telah diperjanjikan, walau pun bank sebenarnya bank sedang mengalami kesulitan. Pada waktu Indonesia mengalami krisis ekonomi tahun 1997 dan 1998, tngkat bunga simpananberkisar antara 50% sampai dengan 65%, dimana pada waktu itu bank mendapat kesulitan menyalurkan dananya pada tingkat bunga pinjaman diatas tingkat bunga simpanan. Bank konvensional yang mengalami tekor, mismatch, dan negative spread pada waktu itu adalah merupakan gejala umum.
Profil Bank Islam pada ssi penyaliran dana ditampilkan dalam bentuk kebersamaan bank memperoleh bagi hasil dari usaha nasabahnya yang tentu saja tidak bisa melepaskan dirinya dari pengaruh perekonomian nasional. Nasabah penerima pembiayaan mudharabah, dan penerima pembiayaan musyarakah tidak dikenakan beban tetap apapun, kecuali bagi hasil sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Tentu saja bagi hasil yangdilaksanakannya harus sesuai dengan hasil yang benar-benar diperolehnya. Jadi, jumlah bagi hasil yang diserahkan bank, kecil pada waktu usahanya lesu, dan besar pada waktu usahanya bergairah.
Sementara itu, nasabah penerima pinjaman bank konvesional harus membayar bunga pinjaman secara tetap dan tepat waktu walaupun usahanya sedang lesu. Keterlambatan membayar bunga pinjaman pada waktu yang telahditetapkan akan menjadi beban tambahan, karena bunga pinjaman yang tidak dibayar akan berbunga pula (bunga berbunga). Dengan tingkat bunga pinjaman diatas 65% pada waktu Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997 dan1998, jelas mempersulit nasabah untuk menggeserkan kepada biaya produksi dan harga barang. Ingat, pada waktu itu daya beli masyarakat sangat rendah karena tekanan inflasi yang pada waktu itu (total Sembilan bulan terakhir tahun 1998) telah mencapai 75,47%.
Dengan demikian, Bank Islam dengan sistem bagi hasil pada sisi pengarahan dana mendukun program pemerintah dalam upaya pemerataan pendapatan secara adil, sedang dalamsisi penyaluran dana dimana Bank Islam mampu memperluas daya jangkau dan penetrasi penyaluran dana kesemua lapisan mayarakat, akan mendukung program pemerintah dalam upaya perluasan kesempatan berusaha yang berdampakpada perluasan kesempatan kerja, dan mendukung upaya pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Karena bagi hasil bukanlah konsep biaya, maka Bank Islam dalam system bagi hasilnya juga menghilangkan beban biaya yang dapat digeserkan kepada pembeli produk yang terakhir, sehingga dapat menetralisirterjadinya biaya tinggi, meningkatkan efisiensi, dan menghambat laju inflasi.
Penerapan system bagi hasil pada Bank Islam menjadikan bnk sangat peduli kepada keberhasilan usaha nasabah, sehingga berdampak pada upaya untuk selalu meningkatkan kualitas banker Bank Islam menjadi lebih kompeten dan professional.
Masih pada sisi penyaluran dana, profil Bank Islam yang ditampilkan pada pembiayaan murabahah, baiubithaman ajil, salam, istishna’ danijarah menjadikan Bank Islam sebagai pembeli barang dan jasa potensial, karena itu pembelian oleh Bank Islam seharusnya mendapat potongan harga dan lebih murah. Untuk mendapatkan posisi sebagai potensial buyer, Bank Islam harus mlakukan kontak langsung dan melakukan dealing negosiasi dengan produsen, pemasok, dealer, dan supplier. Akibatnya nasabah yang membeli melalui Bank Islam pun memperolehharga yang bersaing disamping keringanan berupa kelonggaran waktu membayar kembali. Praktik me-wakalahkan (mewakilkan) kpada nasabah dalam melakukan negosiasi dengan produsen, pmasok, dealer, dan supplier akan menghapuskan posisi Bank Islam sebagai potensial buyer dengan segala daya tawarnya (bargaining power).
Karena pembayaran murabahah, baiu bithaman ajil, salam, istishna’ dan ijarah mengutamakan adanya barang dan jasa terlebih dahulu, sehingga mendorong produksi barang dan jasa. Investasi untuk memproduksi barang dan jasa akan terus meningkat, sehingga dapat memperluas lapangan kerja baru. Selanjutnya fasilitas pembiayaan murabahah, baiu bithaman ajil, salam, istishna’ dan ijarah yang diberikan kepada tahapan proses nilai tambah barang dan jasa yang diproduksi akan memperlancar arus barang dan jasa. Akibatnya, keseimbangan pasokan barang dan jasa dengan pasokan uang yang beredar akan dapat dipelihara, sehingga kecenderungan kenaikan harga-harga (inflasi) dapat dihambat.
Pada saat-saat tertentu memang bisa terjadi kenaikan harga barang/jasa, yaitu pada saat pasokan habis terjual, etapi sifatnya sementara, karena kelangkaan pasokan akan mendorong produksi baru atau mendatangkan (impor) dari luar wilayah. Pada waktu terjadi kelangkaan pasokanb karena habis dibeli atau dipesan nasabah Bank Islam, maka pada waktu itu terbuka pintu bagi produsenuntuk meningkatkan kapasitas produksi dengan memanfaatkan fasilitas pembiayaan Bank Islam, baik berupa salam, istishna,’, mudharabah, maupun usyarakah. Meningkatkan kapasitas produksi berarti meningkatkan pemblian bahan baku, pembelian mesin baru, dan penambahan tenaga kerja. Kegiatan ini secara multiplier jelas akan menyerap angkatan kerja yang tersedia, sehingga akan mengurangi tingkat pengangguran. Bertambahnya jumlah tenaga kerja yang mendapatkan pekerjaan akan meningkatkan pendapatan per kapita, meningkatkan daya beli masyarakat, dan meningkatkan pendapatan nasional.
B. Prospek Bank Islam Di Indonesia
Untuk mengetahui prospek Bank Islam di Indonesia, terlebih dahulu perlu diinventarisir, dipelajari dan dianalisis apa yamg menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangannya. Proses ini biasa disebut dengan analisa SWOT. Dengan memahami hasil analisis SWOT terhadap keberadaan Bank Islam di Indonesia akan dapat diperkirakan bagaimana prospek Bank Islam di Indonesia.
1. Kekuatan (strength) dari Bank Islam
a. Dukungan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk.
Bank Islam telah lama menjadi dambaan umat Islamdi Indonesia, bahkan sejak masa Kebangkitan Nasional yang pertama. Berdirinya Bank Islam merupakan upaya strategis dalam Garis-garis Program Kerja Majelis Ulam Indonesiatahun 1990-1995. Hal ni menunjukan besarnya harapan dan dukungan umat Islam yang diwakili oleh Majelis Ulama Indonesia terhadap adanya Bank Islam.
Tidak lama setelah diberlakukannya system perbankan ganda (dual banking system) melalui Undang-Undang No.7 tahun 1992. Majelis Ulama Indonesia membentuk Dewan Syariah Nasional yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk, jasa, dan kegiatan lembaga keuangan bank dan nonbank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Majelis Ulama Indonsia akan Mencanagkan Gerakan Ekonomi Syariah Nasional yang kmudian nanti akan diikuti Gerakan Ekonomi Syariah Daerah di seluruh provinsi yang akan dibuka oleh Kepala Daerah Provinsi masing-masing. Gerakan Ekonomi Syariah akan diisi dengan berbagai kegiatan sosialisasi ekonomi syariah dalam rangka mendukung pembangunanekonomi banga.
b. Komitmen dan dukungan dari otoritas perbankan (Bank Indonesia).
Berlakunya Undang-Undang No.10 tahun1998 tentang perubahan Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan, mnunjukan pengakuan Bank Indonesia akan keberadaan bank Islam dan bank konvensional. Tidak lama setelah itu Bank Indonesia membentuk Komite Pengarahan, Komite Ahli, dan Komite Keja Pengembangan Perbankan Islam. Komite Pengarahan terdiri dari Gubernur Bank Indonesia, Menteri Keuangan, Menteri Agama, dan Menteri Sekretaris Negara, yang bertugas menetapkan kebijakan umum dalam pengembangan Bank Islam. KomiteAhli erdiri dari Ahli Syariah, Ahli Hukum, Ahli perbankan, dan Ahli Ekonomi, yang bertugas memberikan masukan dan saran atas tata cara dan prosedur dalam pengembangan Bank Islam. Komite Kerja terdiri atas pejabat terkait di Bank Indonesia dalam pengembangan perbankan nasional yang brtugas merumuskan langkah-langkah pengembanang perbankan Islam, yang meliputi Kelembagaan, Instrumen Keuangan, Sumber daya Insani, dan Pengawasan Bank.
Komite-komite inilah yang merumuskan Cetak Biru Pengembangan Perbankan Islam Indonesia sampai dengan tahun 2011 yang kemudian menjadi program kerja Direkorat Perbankan Islam, Bank Indonsia.
c. Dukungan dari Lembaga Keuangan Islam di Seluruh Dunia
Adanya Bank Islam yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam adalah sangat penting untuk memelihara umat Islam dari hal-halyang dapat menjrumuskan kepada yang haram. Oleh karena itu, pada Konferensi ke-2, Menteri-menteri Luar Negeri negara-negara Muslim di seluruh dunia bulan Desember 1970 di Karachi, Pakistan telah sepakat menirkan Islamic Developmnt Bank (IDB) yang dioprasian sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam. IDBkemudian secara resmi didirikan pada bulan Agutus 1974 di mana Indonesia menjadi salah satu negara anggota pendiri. IDB dalam Articles of Agreement-nya Pasal 2 ayat xi, akan membantu berdirinya bank-bankyang akan beroprasi sesuai dengan prinsi-prinsip Syariah Islam di negara-negara anggotanya. Beberapa Bank Islam yang bersekala internasional telah dating ke Indonesia untuk menjajagi kemungkinan membuka Bank Islam patungan denan Bank Nasional. Bank-bank tersebut antara lain adalah: Al-Baraka and Investment, Co. yang berkantor pusat di Jeddah, Kuwait Finance House yang berkantor pusat di Kuwait City, Dar Al-Maal al-Islami yang berkantor puayt di Switzerland, Faisal Islamic Bank of Egiyt yang berkanbtor pusat di Mesir, dan sebagainya. Hal ini menunjukan besarnya harapan dan duungan lembaga keuangan internasional terhadap adanya Bank Islam di Indonesia.
d. Konsep yang melekat (build in concept) pada Bank Islam sangat sesuai dengan kebuuhan pembangunan, baik masa kini maupun masa ang akan datang.
Bank Islam adalah system perbankan yang diperlukan masyarakat saat ini dan saat yang akan datang, karena hal berikut ini:
1) Bank Islam mendorong kebersamaan atar bank dan nasabahnya dalam menghadapi resiko usahadan membagi keuntungan/kerugian secara adil.
2) Operasi penyaluran dana Bank Islam berupa pembiayaan tidak mengutamakan jaminan kebendaan, baik berupa surathak atas pemilikan harta tetap maupun fidusia. Hal ini bisa dilakukan karena pembiayaan yang diberikan adalah berupa tantangan dana untuk membeli barang kebutuhan peminjam, di mana barang itu selama belum lunas masih menjadi milik bank.
3) Untuk pembiayaan al-mudharabah, Bank Islam sendirinya tidak akan mmbebani nasabah dengan biaya-biaya tetap yang berada diluar jangkauannya. Nasabah hanya diwajibkan membagihasil usahanya sesuai dengan perjajian yang telah ditetapkan sbelumnya. Bagi hasil kcil kalau keuntungan usahanya kecil dan bagi hasil besar kalau hasil usahanya besar.
4) Karena pendapatan dari bagi hasil yang diterima nasabah sebagai pnyimpan dana pada bank akan berbeda dari waktu ke waktu sesuai dengan situasi ekonomi, maka nasabah secara otomatis sudah dapat mengetahui keadaan banknya jauh sbelum bank tersebut menderita kerugian, ini lah keterbukaan yang dijamin oleh Bank Islam.
5) Bank Islam dalam operasinya juga terbatas dari penyimpangan-penyimpangan, karna penyaluran dana selalu dikaitka dengan barang (terutama barang modal) yang diperlukan peminjam. Karena bank dalam system ini tidak berdampak inflasi, mendorong investasi, mendorong pembukaan lapangan kerja baru, dan mendorong terjadinya pemerataan pendapatan.
6) Bank Islam juga menyediakan pinjaman murah bebas biaya disebut al-qardul hasan yang disimpan pada rekening dana umat atas nama bait al-tamwil, yayasan-yayasan, BASIZ, masjid, dan sebagainya, yang dananya dikumpulkan dari zakat, infak, dan sedekah, sebelum syaratnay disalurkan kepada mereka yang berhak.
7) Invstasi yang dilakukan nasabah Bank Islam tidak tergantung kepada tinggi rendahnya tingkat bunga karena tidak ada biaya uang (biaya bunga pinjaman) yang harus diperhitungkan.
8) Bank Islam bersifat mandiri dan tidak terpengaruh secara langsung oleh gejolak moneter, baik dalam negeri maupun internasional, karena kegiatan oprasional bank ini tidak menggunakan perangkat bunga. Kemandirian ini menjamin Bank Islam mempunyai ketahanan yang kuat terhadap pengaruh negative globalisasi.
9) Persaingan antar Bank Islam tidak saling mematikan tetapi saling menghdupi. Bentuk persaingan antar Bank Islam adalah berlomba-lomba untuk lebih tinggi dari yang lain dalam memberikan porsi bagian laba kepada nasabah. Dengan demikian, bank yang bagi hasinya rendah tinggal mmasukan dananya ke bank yang bagi hasilnya tinggi, sehingga memperoleh manfaat dari besarnya porsi pembagian laba bank tersbut.
Dengan mengenali kekuatan dari Bank Islam, maka kewajiban kita semua untuk terus mengembangkan kekuatan yang dimilik bank islam ini.
2. Kelemahan (weakness) dari Bank Islam
a. Masih terdapatnya berbagai kontroversi terhadap keberadaan dan system oprasional Bank Islam di antara kelompok masyarakat, dan banker syariah, seperti:
1) Kontroversi tentang bunga bank dan riba;
2) Kontroversi tentang system akuntansi berbasis kas dan akural;
3) Kontroversi tentang penghitungan bagi hasil atas dasar profit and loss sharing dan revenue sharing;
4) Kontroversi tentang penghitungan margin harga jual bankpada akad murabahah, baiu bithaman ajil, salam, isthisna’, ijarah, dan lain-lain.
b. Dari hasil survey yang dilakukan Bank Indonsia di lima provinsi, dan di Daerah Istimewa Yogyakarta, menunjukan rendahnya pemahaman masyarakat tentang produk dan manfaat perbankan Islam (Rata-rata 11%).
c. Jaringan pelayanan Bank Islam (Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, Kantor Kas, dan Bank Perkreditan Rakyat) jumlahnya masih terbatas dan belum mencapai semua sentra-sentra kegiatan ekonomi.
d. Keberhasilan system bagi hasil Bank Islam pada pembiayaan mudharabah dan musyarakah sangat tergantung pada kejujuran nasabahnya (moral hazard). Dengan demikian, Bank Islam sangat rawan terhadap mereka yang beritikad tidak baik.
e. System bagi hasil memerlukan perhitungan-prhitungan yang tepat terutama dalam menghitung bagian laba nasabah yang kecil-kecil dan yang nilai simpanannya di banktidak pernah tetap. Dengan demikian, kemungkinan salah hitung setiap saat dapat terjadi, sehingga diperlukan kecermatan yang lebih besar dari bank konvensional.
f. Karena Bank Islam membawa misi bagi hasil yang adil, maka Bank Islam lebih memerlukan tenaga-tnaga professional yang handal dari pada bank konvensional. Kekeliruan dalam menilai proek yang akan di biayai bank dengan system bagi hasil mungkin akan membawa akibat yang lebih berat dari pada yang dihadap bank konvensional yang hasil pendapatannya sudah tetap dari bunga.
g. Karena Bank Islam maih baru di oprasikan di Indonesia, maka kemungkinan disana-sini masih diperlukan perangkat peraturan pelaksanaan untuk pembinaan dan pengawasannya. Masalah adaptasi system pembukuan dan akuntansi Bank Islam terhadap system pembukuan dan akuntansi perbankan yang tlah dibakukan tampaknya masih menjadi perdebatan.
Dengan mengenal kelemahan-kelmahan ini, maka adalah kwajiban-kewajiban kita semua untuk memikirkan bagaimana mengatasinya dan menemukan penangkalnya.
3. Peluang (opportunity) dari Bank Islam
Bagaimana peluang dapat didirikannya bank tanpabunga dan kemungkionannya untuk tumbuh dan berkembang di Indonsia dapat dilihat dari pelbagai pertimbangan yang membentuk peluang-peluang dibawah ini.
a. Peluang karena pertimbangan kepercayaan agama.
1) Merupakan hal yang nyata, bahwa di dalam Islam, masih banyak yang menganggap, bahwa menerima atau mmbayar buanga adalah termasuk menghidup suburkan riba. Karena, riba dalam agama Islam jelas-jelas dilarang, maka masih banyak masyarakat Islam yang tidak mau memanfaatkan jasa perbankan konvensional yang telah ada sekarang.
2) Meningkatkan kesadaran beragama yang mrupakan hasil pembangunan di sector agama memperbanyak jumlah perorangan, yayasan-yayasan, pondok-pondok pesantren, sekolah-sekolah agama, masjid-masjid, baitul-mal, dan sebagainya yang belum menyimpan dananya dibank yang sudah ada.
3) System pemberian bonus uang dan pengenaan biaya uang (disebut bunga) dalam system perbakan konvensional yang berlaku sekarang dikhawatirkan mengandung unsure-unsur yang tidak sejalan dengan syariah Islam.
Untuk itu Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan Fatwa Nomor 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro, Nomor 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan, dan Nomor 03/DSN-MUI/IV/2000 tntang Deposito, yang menetapkan bahwa Giro, Tabungan, dan Deposito tidak dibenarkan secara syariah apabila berdasarkan perhitungan bunga. Sedankan Giro, Tabungan, dan Depositoyan dibenarkan secara syariah iaah yang berdasarkan prinsip mudharabah dan atau wadiah.
b. Adanya peluang hukum untuk berkembangnya bank tanpa bunga.
1) Undang-Undang Dasar 1945 (Setelah Amandemen) Pasal 33 Ayat (1) menyebutkan, bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Pasal 33 ayat (1) menyebutkan perekonomian nasional diselengarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, dan seterusnya. Bank Islam dalam oprasinya mempunyai konsep yang melekat (build-in concept) berasaskan keberamaan dalam hal investasi, menghadapi risiko usaha dan dalam membagi hasil usaha dengan nasabahnya.
2) Undang-Undang No. 7 Tahu 1992 sebagai mana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentant Perubahan Undang-Undang Nomor7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Penjelasannya serta peraturan-peraturan pelaksanaan yang mendukung keberadaan Bank Islam. Bank Indonesia bahkan memberikan kesempatanyng seluas-luasnya bagi perkembangan Bank Islam dalam Cetak Biru Pengembangan Perbankan Islam Indonesia.
3) Paket 27 Oktober1988 dan ketentuan kelanjuan tanggal 29 Januari 1990 memberikan peluang untuk berdirinya bank-bank swasta baru, kemudian bank-bank yang asing yang ada dapat membuka cabang pembantu di lima kota dan Daerah Otorita Pulau Batam, dan masuknya perwakilan bank asing barutermasuk kemungkinan joint ventures bagi perwakilan bank asing yang telah ada dengan bank domestic.
c. Adanya peluang ekonomi bagi keberadaan Bank Islam
1) Krisis moneter yang melanda negara-negara di wilayah Asia bulan Juli 1997 yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi membuktikan rapuhnya system perbankan dengansistem bunga yang mendominasi perekonomian di negara tersebut. Di Indonesia, krisis moneter dimulai dengan merosotnya dengan tajam nilai tukar rupiah terhadap US dollar. Merosotnya nilai tukarrupiah tersebut dengan sendirinya membengkakkan utang nasabah besar bank yang dibuat sebelumnya dalam valuta asing. Akibatnya, secara otomatis terjadi pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), kredit macet atau non performing loan to deposit diatas 120%. Kebijaksanaan uang ketat yang kemudian diterapkan oleh Pemerintah untuk mengatasi kerisis ekonomi telah mendorong tingginy tingkat bunga bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas. Menyusul tingginya tingkat bunga adalah terjadin ya masalah negative spread, karena banyaknya nasabah yang tidak mampu membayar tingkat bunga pinjaman yang tinggi.
2) Moctar Riady mengelompokan krisis perbankan mnjadi tiga, yaitu: Pertama, bank bermaalah sebelum krisis moneter; Kedua, bank bermasalah sesudah krisis monter; Ketiga, bankyang masih bertahan danberjalan normal walaupun sudah dihantam berbagai badai. Menurut Mochtar, bank yang termasuk kelompok ketiga pun bisa terseret dalam masalah dan akan bergiliran masuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Dengan terjadinya krisis perbankan di Indonesia yang di dominasi perbankan dengan sistem bunga, maka masyarakat mulai memerhatikan Bank Islam yang ternyata selama kerisis moneter dan krisis ekonomi teap tangguh dan dalam keadaan sehat.
3) Adanya Bank Islam yang tangguh dalam menghadapi krisis ekonomi akan mempekaya khasanah perbankan di Indonesia. Iklim baru ini telah menarik penanaman modal di sector lembaga keuangan yang khususnya IDB dan Bank-bank Islam lainnya serta pemodal dari negara-negara penghasil minyak di Timur-Tengah.
4) Konsep Bank Islam yang lebih mengutamakan kegiatan produksi dan perdagangan serta kebersamaan dalam hal investasi, menghadapi risiko usaha dan membagi hasil usaha, akan memberikan subangan yang besar kepada perekonomian Indonesia khususnya dalam menggiatkan investasi, penyedian kesempatan kerja, dan pemerataan pendapatan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa mengingat Bank Islam adalah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam, maka bank denan system ini akan mempunyai segmentasi dan pangsa pasar yang baik sekli di Indonesia. Dengan sedikit pembinaan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, peluang untuk berkembangnya Bank Islam di Indonesia cukup besar.
4. Ancaman (threat) Terhadap Bank Islam
a. Ancaman yang paling berbahaya ialah apabila Bank Islam dikait-katkan dengan fanatisme agama. Akan ada pihak-pihak yang berusaha menghalani berkembangnya Bank Islam ini semata-mata hanya karena tidak suka apabila umat Islam bangkit dari keterbelakangan ekonominya. Mereka tidak mau tahu, bahwa Bank Islam itu jelas-jelas bermanfaat untuk semua orang tanpa pandang bulu. Isu eksklusivisme atau SARA mungkin akan dilontarkan untuk mencegah berkembangnya Bank Islam.
b. Ancaman berikutnya adalah darimereka terasa terusik kenikmatannya mengeruk kekayaan rakyat Indonesia yang sbagian besar beragama Islam melalui system perbankan yang sudah ada. Munculnya Bank Islam yang menuntut pemerataan pendapatan yang lebih adil akan dirasakan oleh mereka sebagai ancaman terhadap status quo yang telah dinikmatinya selama puluan tahun.
c. Ancaman yang terakhir ialah dari umat Islam sendiri yang kualitas imannya elah menalami kemerosotan, karena tergoda oleh kebutuhan materi. Diantara mereka aka nada yang menuntut apabila sebagai menyimpan dana pada Bank Islam bagi hasil yang setingkat dengan tingkat bunga yang berlaku pada saat bank pada taraf awal berdirinya. Sebaliknya, pada waktu bagi hasil lebih besar dari tingkat bunga yang berlaku justru menganggap Bank Islam lebih zalim dari bank konvensional. Pengelola Bank Islam yang mengikuti kesrakahan seperti ini dengan memodifikasi system perbankan syariat sebagian besar mengalami kesulitan.
Dengan mengenali ancaman-ancaman terhadap di oprasikannya Bank Islam ini maka diharapkan para cendikiawan yang telah memahami kemanfaatan bank system bagi hasil dapat berjaga-jaga dan mengupayakan penangkalnya.

DAFTAR BACAAN
Buku
Wirdyaningsih. “BANK DAN ASURANSI ISLAM DI INDONESIA.” Jakarta: Kencana, 2005.
Thomas Suyanto. “Kelembagaan Perbankan,” Edisi kedua, Cetakan ketujuh, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994,
Artikel
Mingguan Berita Ekonomi & Bisnis Warta Ekonomi, No. 19/X/28 September 1998.
Kompas, Menkeu Akui Perbankan Indonesia Gagal, Sabtu, Jakarta: Sabtu, 3 Oktober 1998.
Republika, Target Inflasi APBN Sulit Dicapai, Selasa, 6Oktober 1998, hlm. 1, kolom 1 dan 2.
Bisnis Indonesia, BUMN-Swasta Merger Saja, Wawancara Bisnis Indonesia dengan Chaiman Grup Lippo, Mochtar Riady. Jakarta: Senin, 12 Oktober 1998.
Peraturan
Agreement Establishing the Islamic Developmnt Bank, Jeddah: Dar Alasfahani Printing Press, 12 Agustus 1994.