Senin, 28 Desember 2009

Pemikran Munawir Sjadzali tentang Islam dan Negara

Pemikran Munawir Sjadzali tentang Islam dan Negara

Pemikiran Munawir tentang ‘Islam dan negara’ dapat kita temukan dalam buku beliau yang berjudul, “Islam Dan Tata tegara, Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran”. Dalam buku ini Munawir menyajikan tiga pandangan yang mengajarkan hubungan antara Islam dan negara.
1. Pandangan yang menekankan Islam sebagai agama yang paling sempurna dan lengkap dengan segala aturan yang mampu mengatur kehidupan setiap aspek manusia, masyarakat, rnaupun termasuk kehidupan bernegara. Kesempurnaan Islam itu dapat ditemukan di dalam al-Quran dan sunnah Nabi.
2. Pandangan yang memahami Islam sebagai “agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada huhungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad adalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjujung tinggi budi pekerti luhur, dan nabi tidak pernah dmaksudkan untuk mendirikan atau mengepalai suatu negara.”
3. Pandangan ini menolak pendapat bahwa Islam adalah agama yang serba langkap dan dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Pandangan ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia dan maha Penciptanya. Pandangan ini berpendirian bahwa di dalam Islam tidak terdapat sistem ketatnegaraan, melainkan Islam mengajarkan tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.”
Munawir Sjadzali menolak pandangan pertama karena bagi Munawir di dalam al-Quran tidak ditemukan tata politik, pemerintahan yang khas Islami. Demikian juga konsep tentang pemerintahan pada masa empat al-Khulafa al-Rasyidin, maupun pasca al-Khulafa al-Rasyidin atau sistem politik kontemporer tidak ditemukap suatu yang khas Islami. Meskipun begitu dia berkeyakinan bahwa Islam menyajikan suatu tauhid yang daripadanya terpancar hukum-hukum dan ajaran-ajaran agama yang rnampu dijadikan sumber inspirasi bagi umat Islam yang bergairah untuk mentaati ajaran-ajaran Tuhan pada situasi dan kondisi di Negara tertentu.’ Inilah alasan Munawir untuk menolak pandangan kedua.
Munawir menerima pandangan ketiga dengan alasan, “Setelah memperhatikan kelemahan-kelemahan mendasar pada kedua aliran tersebut, kiranya cukup bertanggung jawab terhadap Islam kalau kita cenderung mengikuti aliran ketiga. Aliran yang pada satu sisi menolak anggapan bahwa dalam Islam terdapat segala-galanya, termasuk sistem politik, pada sisi lain tidak setuju, dengan anggapan bahwa Islam adalah agama yang sama sekali sama dengan ajaran agama-agama lain, aliran yang percaya bahwa di dalam Islam terdapat seperangkat prinsip dan tata nilai etika bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seperti kita temukan dalam al-Quran, yang memiliki kelenturan dalam pelaksanaan dan penerapannya dengan memperhatikan perbedaan situasi dan kondisi antara satu zaman dengan zaman lainnya serta antara satu budaya dengan budaya lain”.
Munawir berusaha menunjukkan kepada umat Islam pada umumnya dan umat Islam Indonesia pada khususnya bahwa pertanyaan.’ apakah Islam mengajarkan sesuatu konsep baku tentang sistem pemerintahan atau negara, perlu dicermati secara doktrinal maupun secara historis. Pencermatan secara doktrinal mendorong Munawir untuk mengadakan penelitian ulang terhadap a1-Quran, sunnah Muhammad, piagam Madinnah. Pengkajian secara historis menggairahkan dia mencermati, sistem kenegaraan pada masa al-Khulafa al-Rasyidin maupun mencermati pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh Islam terkenal seperti: Ibn Abi Rabi al-Farabi, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibn Taymiyah, Ibn Khaldun, al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid ‘Ridla, Ali Abd al-Raziq, Abu al-Ala’ al-Mawdudi, Muhammad Husayn Haykel.
Pengkajian secana doktrinal maupun historis membuahkan suatu pernyataan dari dalam diri Munawir yang menekankan bahwa tidak ditemukan suatu konsep baku apapun dalam Islam tentang sistem pemenintahan atau negara. Yang ditemukan oleh Munawir dalam hal sistem pemerintahan atau negara termasuk sistem pemindahan kekuasaan adalah keharusan untuk bermusyawarah sebagai prinsip utama keyakinan Islam.
Bagi Munawir, prinsip utama Islam telah diberlakukan dalam kehidupan me ’negara’ di Indonesia, yaitu terjadinya musyawarah untuk mufakat dalam proses pembentukan dasar negara Indonesia. Melalui musyawarah untuk mufakat itulah tauhid menjadi dasar pokok bagi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia. Hal ini berarti bahwa secara dogmatis, Islam yang diyakini oleh Munawir memiliki peran yang amat besar di Indonesia karena umat Islam merupakan. pendukung utama ditegakkannya ideologi utama Pancasila. Dengan kata lain, jika bangsa ini ingin Pancasila tetap langgeng hendaknya pemerintah mengadakan pendekatan yang akomodatif terhadap umat Islam, karena umat Islam meyakini bahwa dasar kebangsaan Indonesia adalah ketuhanan yang mahaesa yang menjiwai sila-sila lainnya dalam Dengan demikian, ibadah kepada Allah melalui pemberlakuan Pancasila.hukum-hukum dan ajaran agama, yang tentu saja telah dikontekstualisasikan di Indonesia merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar untuk dijalankan di Indonesia.
Munawir beranggapan bahwa jika pada era ‘40 an dan ‘50 an kaum Islam pernah menunjukkan keseganan untuk menerima Pancasila, hal itu bukannya berarti bahwa umat Islam menolak Pancasila pada dininya sendiri, melainkan yang ditolak atau dicurigai oleh umat Islam penafsiran Oleh karena itu Pancas.ila yang dimonopoli oleh golongan sekularis.jika Orde Baru mampu menyajikan penafsiran terhadap Pancasila secara lebih memadai, seperti dirumuskan dalam kalimat bahwa, Indonesia bukan negara sekuler tetapi juga bukan negara agama, maka umat Islam segera mengingatkan pemerintah agar memberikan kompilasi-kompilasi yang memberikan tempat dan.peranan terhormat bagi agama (islam).
Jadi dalam pemikiran Munawir Sjadzali tentang ‘Islam dan Negara,’ kita menjumpai suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk memberikan tafsiran terhadap Pancasila secara Islami, sehingga bertitik tolak dan tafsiran itu negara (pemerintah) dapat berperan sebagai alat bantu bagi diberlakukannya hukum-hukum dan ajaran-ajaran Islam, yang tentu saja telah menjalani reaktualisasi dan kontekstualisasi di Indonesia. Dengan kata lain, dalam pemikiran Munawir, relasi tarik-menarik antaraagama dan negara atau antara faktor-faktor emosional-subyektif (agama) dengan fakor-faktor rasional-obyektif dimenangkan oleh agama (factor-faktor emosional-subyektif).

Tidak ada komentar: