Senin, 28 Desember 2009

Study Analisis Gender

Study Analisis Gender

Dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia, partisipasi kaum perempuan secara kuantitatif maupun kualitatif sangat kurang dibanding kaum laki-laki. Walaupun ada beberapa dari pejuang Indonesia adalah kaum perempuan. Dimungkinkan salah satu sebabnya adalah sudah terlanjur dipersepsikan bahwa perjuangan fisik dan tugas-tugas politik adalah tugas kaum laki-laki sementara kaum perempuan hanya mengurusi rumah tangga (wilayah-wilayah domestik), mulai dari memasak sampai mendidik anak menjadi tanggung jawab yang dibebabankan pada kaum perempuan. Persepsi inilah yang sampai sekarang tetap melekat di masyarakat yang pada akhirnya terjadi konotasi merugikan kaum perempuan, mereka jadi terbatasi ruang geraknya. Sering kali perempuan diragukan kemampuannya,inilah yang mengakibatkan setiap perempuan berpotensi untuk tampil kedepan merasa minder dan dirinya menjadi nomor dua atas laki-laki.
Adalah fakta dimana peran laki-laki begitu dominan, dari wilayah politik, ekonomi, pendidikan sampai keluarga. Bukan hanya dominant laki-laki juga menempati posisi-posisi yang penting. Seolah-olah laki-laki secara alamiah superior daripada perempuan dan inilah yang disebut patriarkhi. Pernyataan dan kenyataan seperti ini merupakan salah satu dari bias gender yang nampak seperti kodrat padahal adanya gender merupakan bentukan sosial. Sebenarnya perbedaan gender tidak bermasalah sepanjang tidak menimbulkan ketidak adilan yang menjadi masalah adalah perbedaan tersebut digunakan untuk pembedaan. Misalnya perempuan dianggap lebih rendah dianggap laki-laki sehingga mendapat giliran belakangan. Ketidak adilah gender termanifestasi dalam berbagai bentuk. Paling tidak ada lima bentuk ketidak adilan : marginalisasi (peminggiran), stereoripe (pelabelan negative), subordinasi (penomorduaan), violence (kekerasan), dan double burden (beban ganda). Lima bentuk ketidak adilan menyebabkan kerugian pada perempuan. Double burden misalnya beban ganda yang di bebankan pada kaum perempuan khususnya dalam kehidupan keluarga, tugas seorang tugas dari seorang ibu selain mencuci pakaian, memasak membersihkan rumah, dan merawat serta mendidik anak juga sering harus membantu kerja suami di sawah, di toko, dipasar dan sebagainya. Setelah bersama-sama pulang ke rumah dari kerja, suami istirahat, tetapi istri masih terbebani pekerjaan-pekerjaan di rumah. Potret demikian merupakan potret yang menggambarkan bagaimana perempuan terbebani dengan kerja-kerja produksi dan re-produksi yang bertumpuk-tumpuk. Disamping mendapat peran ganda, seringkali perempuan mendapat pelabelan negative / distereotipekan misalnya pendapat yang berawal dari asumsi bahwa tugas utama perempuan (istri) adalah melayani suami. Diantara dampak stereotope ini adalah dinomorduakannya perempuan dalam masalah pendidikan, “paling juga kembali kedapur, sumur dan kasur, untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi”, merupakan ungkapan yang sangat popular dalam masyarakat. Padahal dalam pendidikan tidak ada perbedaan antara kaum laki-laki dan perempuan, keduanya sama-sama memperoleh hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan.
Dari uraian tersebut di atas dapat kita tarik benang merahnya bahwa gender bukanlah kodrat, bukan pula hukum Tuhan, melainkan bentukan sosial yang terus melekat dari masa ke masa. Karena itu ketidakadilan yang terjadi karena perbedaan gender tidak berasal dalam kodrat, kondisi fisik perempuan dan hukum alam. Dan disini kalau kita masih memaknai gender sebagai alasan untuk membedakan eksistensi perempuan dan laki-laki maka pola pikir yang seperti itu harus segera di hilangkan.

Tidak ada komentar: