Senin, 28 Desember 2009

PENINGKATAN KUALITAS GURU DAN PROGRAM 100 HARI, PERLUKAH?

PENINGKATAN KUALITAS GURU DAN PROGRAM 100 HARI, PERLUKAH?
(Menanggapi tulisan saudara Tito Suhendar, Guru SD Juara Bandung)

Profesi seorang guru sangatlah mulia, kehadirannya ibarat air bagi seorang musafir di padang pasir. Namun, amanah yang diembannya pun tidaklah ringan, diperlukan keprofesionalan sebagai sosok seorang pendidik. Sosok yang memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan, sosok yang dapat memberi contoh teladan dan sosok yang selalu berusaha untuk maju, terdepan dan mengembangkan diri untuk mendapatkan inovasi yang bermanfaat sebagai bahan pengajaran kepada anak didik.
Dialah sosok yang berperan aktif dalam proses pentransferan ilmu dan pengetahuan bagi anak didiknya untuk dijadikan bekal kelak. Yang lebih penting dari itu, mereka harus bisa mengembangkan dan memberdayakan manusia untuk menjadi seorang yang berkarakter dan bermental baja, agar mereka tidak minder dalam meghadapi masalah dan dapat bersikap layaknya seorang ksatria.
Maka bagaimanapun juga peran seorang guru tidak dapat diremehkan di dalam bidang apapun, baik yang bersifat pendidikan maupun yang lainnya.Tetapi untuk mencari dan menjadi guru yang seperti itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, melainkan membutuhkan etos dan spirit perjuangan yang luar biasa. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Friedric Wilhelm Nietzsche, seorang filsuf terkemuka abad postmodern. Dia menuturkan bahwa seorang guru sejati adalah mereka yang tidak memikirkan segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri, kecuali muridnya. Dari sini dapat kita tarik kesimpulan bahwa seorang guru yang benar-benar patut dijadikan tauladan adalah mereka yang terfokus pada anak didiknya, demi tercapainya pencerahan. Karena bagaimanapun juga anak didik adalah cikal bakal maju mundurnya sebuah bangsa. Kemana bangsa ini akan diarahkan itu tergantung pada mereka.
Karena tugasnya yang tidaklah mudah maka seorang guru juga perlu pendidikan yang tinggi agar dapat mengetahui metode yang tepat untuk diterapkan pada peserta didiknya.Jika ditinjau dari filsafat pendidikan, ada tiga lapangan filsafat, yakni filsafat metafisika, epistemolagi dan aksiologi. Dengan filsafat epistemologi pendidik mengetahui apa yang harus diberikan kepada warga belajar, bagaimana cara memperoleh pengetahuan, dan bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut. Dengan filsafat aksiologi pendidik memahami yang harus diperoleh warga belajar tidak hanya kuantitas pendidikan tetapi juga kualitas kehidupan karena pengetahuan tersebut. Hal yang menentukan filsafat pendidikan seorang pendidik adalah seperangkat keyakinan yang dimiliki dan berhubungan kuat dengan perilaku pendidik, yaitu: Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran, warga belajar, pengetahuan,dan apa yang perlu diketahui. Oleh karena itu, alangkah baiknya seorang guru minimal telah menempuh jenjang Strata 1 (S1).
Selain itu, sejak diberlakukannya sistem pengajaran KBK seorang guru lebih dituntut untuk familiar dengan teknologi informasi, dapat mengakses internet, akrab dengan ilmu pengetahuhan, teknologi, dan seni, serta memahami hubungan antara bidang studinya dengan bidang studi lainnya terutama pada penerapannya dalam kehidupan nyata. Maka perlu kiranya Program 100 Depdiknas dilaksanakan terutama mengenai point peningkatan kualitas guru berupa peningkatan kualifikasi akademik guru menjadi Strata 1. Terbukti sistem KBK tampaknya belum sepenuhnya dapat terpenuhi, dikarenakan beberapa faktor. Diantaranya, mutu guru yang menjadi kendala terbesar. Berdasarkan fakta, mutu guru di Indonesia masih jauh dari memadai untuk melakukan perubahan yang sifatnya mendasar macam kurikulum berbasis kompetensi ini. Berdasarkan statistik, 60% guru SD, 40% guru SLTP, 43% SMA, 34% SMK dianggap belum layak untuk mengajar di jenjang masing-masing. Selain itu 17,2% guru atau setara dengan 69.477 guru mengajar bukan bidang studinya. Kualitas SDM kita adalah urutan 109 dari 179 negara berdasarkan Human Development Index.
Guru-guru masih terjebak pada filosofi dan pendekatan lamanya. Hal ini nampak jelas pada evaluasi yang mereka lakukan. Evaluasi yang digunakan oleh para guru dilapangan masih berpedoman pada paradigma lama yang hanya mengukur kemampuan kognitif dengan bentuk-bentuk evaluasi yang hampir tidak berubah sama sekali dengan kurikulum sebelumnya. Kesulitan utama pada guru-guru adalah ketidakpahaman mereka mengenai apa dan bagaimana melakukan evaluai dengan portofolio. Karena ketidakpahaman ini mereka kembali kepada pola assesment lama dengan tes-tes dan ulangan-ulangan yang cognitive-based semata.
Mengenai permasalahan tata cara kuliah penyetaraan jenjang pendidikan bagi guru yang dilaksanakan melalui sistem tatap muka, korespondensi dan modul kiranya sudah cukup. Karena mereka telah memiliki pengalaman dalam proses belajar mengajar secara nyata dan langsung. Sehingga ketika mendapatkan materi-materi dalam perkuliahan atau pun modul tidak sulit bagi mereka untuk memahaminya. Pada hakikatnya itu semua sebagai tambahan metodologi untuk diterapkan dalam sistem yang lebih modern. Perlu diingat akan lebih sulit bagi sarjana pendidikan yang baru lulus, untuk mengaplikasikan metode-metode yang didapatnya selama kuliah langsung dalam proses belajar mengajar. Berbeda dengan guru yang sebelumnya telah terbiasa dan mengetahui secara langsung kondisi proses KBM.

Tidak ada komentar: