PENDAHULUAN
Pidana tidak dapat terpisahkan dari sanksi atau hukuman bagi orang yang terjerat olehnya. Sanksi mengandung inti berupa suatu macam pidana (strafbedreiging) kepada mereka yang melakukan pelanggaran norma. Sanksi mempunyai tugas agar norma yang sudah ditetapkan itu ditaati dan dilaksanakan. Sanksi merupakan alat pemeksa atar seseorang menaati norma-noma yang berlaku dalam masyarakat. Adapun sanksi dari pelanggaran norma-norma yang telah disebutkan diatas sebagai berikut:
a. Sanksi terhadap pelanggaran norma kesusilaan ialah bahwa pelanggar akan dikucilkan dari pergaulan masyarakat
b. Sanksi terhadap pelanggaran norma keagamaan ialah bahwa pelanggar kelak akan mendapat siksa di akhirat.
c. Sanksi terhadap pelanggaran norma kesopanan ialah bahwa pelanggar akan mendapatkan perlakuan yang tidak terhormat dalam pergaulan dalam masyarakat.
d. Sanksi terhadap pelanggaran norma hukum ialah bahwa pelanggar akan mendapat sanksi sebagai alat pemaksa yaitu diserahkan kepada pemerintah atau penguasa.
Dari sanksi di atas tampak bahwa sanksi norma hukum berbeda dengan sanksi terhadap pelanggaran norma lainnya, yaitu menyerahkan pelanggarannya terhadap penguasa. Sanksi norma hukum dapat dibagi-bagi lagi berkenaan dengan adanya hukum publik dan hukum privat.
Hukum publik, antara lain hukum tata negara, hukum adminitrasi negara atau tata usaha negara, dan hukum pidana. Dalam hal ini, tentu ada sanksi norma hukum tata negara, sanksi norma hukum adminitrasi negara, sanksi norma hukum pidana. Sanksi terhadap norma hukum publik adalah:
a. Sanksi terhadap pelanggar norma hukum pidana ialah pelanggar akan mendapat hukuman pidana sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP, yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tambahan.
b. Sanksi terhadap pelanggar norma hukum adminitrasi ialah pelanggar akan mendapat sanksi adminitrasi, misalnya pemberhentian, pemecatan, pemindahan tempat atau jabatan, kenaikan pangkat, atau penurunan pangkat/jabatan.
Adapun yang termasuk hukum privat, antara lain hukum perdata, hukum dagang, hukum adat. Dengan demikian, ada sanksi norma hukum perdata, sanksi norma hukum dagang, dan sanksi norma hukum adat. Sanksi terhadap hukum privat adalah sebagai berikut:
a. Sanksi terhadap pelanggar hukum perdata ialah pelanggar akan mendapat kerugian atau harus mengganti rugi.
b. Sanksi terhadap pelanggar hukum dagang ialah pelangar akan mendapat pembatalan, misalnya, pembatalan suatu perjanjian pertanggungan kebakaran, pembatalan jual beli efek (obligasi, saham) di bursa-bursa efek.
c. Sanksi terhadap pelanggar hukum adat ialah pelanggar akan mendapat sanksi tidak diikutsertakan dalam musyawarah, dikucilkan dari masyarakatnya, dan lain-lain.
Cara merumuskan sanksi ada dua macam, yaitu:
a. Dalam KUHP pada umumnya kepada tiap-tiap pasal, atau juga pada ayat-ayat dari suatu pasal, yang berisikan norma langsung diikuti oleh suatu sanksi.
b. Dalam beberapa undang-undang hukum pidana lainnya, pada pasal-pasal awal ditentukan hanya norma-norma saja tanpa disertakan suatu sanksi secara langsung pada pasal tersebut. Sanksi dicantumkan pada pasal-pasal akhir.
PEMBAHASAN
1. Pengertian pidana dan tindakan
Istilah “tindak pidana” dipakai sebagai terjemahan dari istilah “strafbaar feit” atau “delict”. Akan tetapi didalam berbagai perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dikenal istilah-istilaah yang tidak seragam dalam menterjemahkan “strafbaar feit”.
Adapun beberapa istilah yang dipergunakan di dalam bahasa Indonesia diantaranya sebagai berikut.
1) “peristiwa pidana” (pasal 14 ayat (1) Undang-undang Dasar Sementara).
2) “perbuatan pidana” atau “perbuatan yang dapat atau boleh dihukum” (Undang-undang No. 1 tahun 1951 tentang “mengubah ordonnantie tijdelik bijzondere bepalingen strafrecht yang termuat dalam LN. 1951 No.78”, kita membaca dalam pasal 2 “ perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum menurut Undang-undang Darurat ini dipandang sebagai kejahatan”. Juga didalam buku Mr. KARNI (ringkasan tentang Hukum Pidana tahun 1950).
3) “tindak pidana” (Undang-undang No. 7 tahun 1953 tentang PEMILU pasal 127-129 dan lain-lain).
4) “Pelanggaran pidana” (Mr. TIRTAAMIDJAJA dalam bukunya Pokok-pokok Hukum Pidana tahun 1950).
Istilah yang paling popular dipakai adalah istilah “tindak pidana” yaitu apabila kita perhatikan buku-buku hukum pidana, serta peraturan perundanjg-undangan ukum pidana yang pada umumnya pempergunakan istilah “tindak pidana”
Mengenai apa yang dimaksud atau apa yang diartikan dengan perbuatan atau tindak pidana itu dapatlah dikemukakan beberapa pandangan para pakar antara lain:
Simons, menerangkan:
“strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang bersubungan dengan kesalahan, dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab”.
Moeljatno, merumuskan:
“strafbaar feit atau perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”.
Van hemel, menyatakan:
“strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan didalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan”.
R. Tresna, menyatakan:
“strafbaar feit atau peristiwa pidana, adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan perundangan lainya terhadap perbuatan mana diadakan tindak penghukuman”.
Wirjono Projodikoro, merumuskan:
“strafbaar feit atau tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana”.
Sistem tindakan (Maatregelstelsel) merupakan sebahagian dari hukum pidana positif, yakni bagian yang menentukan jenis sanksi atas pelanggaran, beratnya sanksi, lamanya sanksi dan cara serta tempat sanksi tersebut dilaksanakan.
Tindakan yang menentukan sanksi tentunya tidak dapat lepas dari hakim sebagai pengambil kebijakan
Berikut prosedural hakim dalam mengambil putusan;
Hakim Ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan tertutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberikan alasannya.
Putusan pengadilan negeti dapat dijatuhkan dan di umumkan pada hari itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada npenuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum (pasal 182 ayat (8)). Satu hal yang sangat penting tetapi tidak disebut ialah beberapa lama penundaan itu dapat berlangsung. Dalam Ned. Sv. Jelas ditentukan bahwa penundaan penjatuhan putusan hakim itu paling lama dapat berlangsung 14 hari.
Ditentukan selanjutnya dalam pasal 182 ayat (5) KUHP bahwa dalam musyawarah tersebut hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya.
Dalam ayat berikutnya (ayat (6)) pasal 182 KUHP itu diatur bahwa sedapat mungkin musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika hal itu telah diusahakan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka ditempuh dua cara yaitu :
a. Putusan diambil dengan suara terbanyak
b. Jika yang tersebut pada huruf a tidak juga dapat diperoleh putusan, yang di pilih ialah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.
Pelaksanaan pengambilan keputusan sebagai mana dimaksud di muka, dicatat dalam buku himpunan putusan yang di sediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia (pasal 182 ayat(7) KUHP).
Dengan tegas dinyatakan bahwa pengambilan keputusan itu didasarkan kepada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam sidang pengadilan (pasal 191 KUHP).
Dalam Undang-undang pidana khusus dikenal pula peradilan in absentia yaitu pada delik ekonomi (pasal 16 UUTPE) di kenal peradilan in absentia terdapat orang yang tidak dikenal, tetapi terbatas pada penjatuhan pidana perampasan barang-barang yang telah disita. Begitupula dalam delik korupsi (pasal 23 UUPTPK) dapat dijatuhkan pidana tanpa hadirnya terdakwa. Hal yang sama berlaku dalam delik subversi (pasal 11 ayat (1)UUPKS).
Begitu pula dalam hal orang yang telah meninggal menurut Pasal 16 UUPTE dan pasal 23 ayat (5) UUPTPK. Atas tuntutan penuntut umum dengan putusan pengadilan dapat dijatuhkan pidana perampasan barang-barang yang telah disita. Hal ini berbeda dengan ketentuan pidana umum (KUHP). Denga kematian terdakwa maka perkaranya menjadi selsai.sesudah putusan pemidanaan diucapkan, hakim kietua sidang wajib memberitahu kiepada terdakwa tentang apa yang menjadi haknya yaitu:
a. Hak segera menerima atau segera menolak putusan;
b. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan dalam tenggang waktu yang ditentukian yaitu 7 hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir (pasal 196 ayat (3) Jo. Pasal 233 ayat (2) KUHAP);
c. Haki minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh unjdang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan (pasal 169 ayat (3) KUHAP Jo. UU grasi);
d. Hak minta banding dalm tenggang waktu 7 hari setelah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagai mana dimaksud dalam pasal 196 ayat (2) KUHAP (pasal 196 ayat (3) Jo. Pasal 233 ayat (2) KUHAP);
e. Hak segera mencabut pernyataan sebagai mana dimaksud pada butir a (menolak putusan) dalam waktu seperti ditentukan dalam pasal 235 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa selama perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah di cabut, permintaan banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi (pasal 196 ayat (3) KUHAP).
2. Unsur-unsur dan perbuatan pidana
Menurut Moeljatno
1) Unsur-unsur formiel
a) Perbuatan manusia
b) Perbuatan itu dilarang oleh suatu hukum
c) Larangan itu disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu
d) Larangan itu di langgar oleh manusia
2) Unsur-unsur materiel
Perbuatan itu harus bersifat melawan hukum, yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak patut dilakukan.
Menurut Rancangan KUHP Nasional
1) Unsur-unsur formal
a) Perbuatan sesuatu
b) Perbuatan itu dilakukan atau tidak dilakukan
c) Perbuatan itu oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan terlarang
d) Perbuatan itu oleh peraturan perundang-undangan diancam denmgan pidana
2) Unsur-unsur materiel
Perbuatan itu harus bersifat bertentangan dengan hukum, yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan. Jadi, meskipun perbuatan itu memenuhi perumusan Undang-undang, tetapi apabila tidak bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana.
Di dalam ilmu hukum pidana unsur-unsur tindak pidana itu dibedakan dalam dua macam, yaitu:
a. Unsur objektif
Unsur objektif adalah unsur yang terdapat diluar si pelaku tindak pidana.
Menurut PAF. Lamintang, unsur objektif adalah:
“unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindak dari sipelaku itu harus dilakukan”.
Unsur objektif ini meliputi:
1) Perbuatan atau kelakuan manusia
Perbuatan atau kelakuan manusia itu ada yang aktif (berbuat sesuatu) misalnya : membunuh (pasal 338 KUHP), menganiaya (pasal 351 KUHP), mencuri (pasal 362 KUHP), menggelapkan (pasal 372 KUHP), dan lain-lain.
Dan ada pula yang pasif (tidak berbuat sesuatu), misalnya : tidak melaporkan kepada yang berwajib atau kepada yang terancam sedangkan ia mengetahui ada sesuatu permufakatan jahat, atau adanya niat untuk melakukan kejahatan tertentu (pasal 164 dan 165 KUHP), tidak mengindahkan kewajiban menurut undang-undang sebagai saksi, saksi ahli atau juru bahasa (pasal 224 KUHP), tidak memberi pertolongan kepada orang yang sedang menghadapi maut (pasal 513 KUHP).
2) Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik-delik
Hal ini terdapat didalam delik-delik material atau delik-delik yang dirumuskan secara material, misalnya : pembunuhan (pasal 338 KUHP), penganiayaan (pasal 351 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), dan lain-lain.
3) Unsur melawan Hukum
Setiap perbuatan yang dilarang dam diancam pidana oleh peraturan per-undang-undangan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum (wedderechtelijkheid) (rechtsdrigkeit) meskipun unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas dalam perumusannya.
Ternyata sebagian besar dari perumusan delik dalam KUHP tidak menyebutkan dengan tegas unsur melawan hukum ini hanya beberapa delik saja yang menyebutkan dengan tegas seperti dengan melawan hukum merampas kemerdekaan (pasal 333 KUHP), untuk dimilikinya secara melawan hukum (pasal 365 KUHP), dengan melawan hukum menghancurkan (pasal 406 KUHP), dan lain-lain.
4) Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana
Ada beberapa tindak pidana yang untuk dapat memperoleh sifat tindak pidananya memerlukan suatu hal-hal objektif yang menyertainya seperti: penghasutan (pasal 160 KUHP), melanggar kesusilaan (pasal 282 KUHP), pengemisan (pasal 504 KUHP), mabuk (pasal 536 KUHP)(dimana tindak pidana-tindak pidana tersebut harus dilakukan dimuka umum), melarikan wanita belum dewasa (pasal 332 KUHP) 1) butir 1 KUHP) (tindak pidana ini harus disetujui oleh wanita tersebut tetapi pihak orang tuanya atau walinya tidak menyetujuinya), dan lain-lain.
Selain daripada itu, ada pula beberapa tindak pidana yang untuk dapat memperoleh sifat tindak pidananya memerlukan hal-hal subjektif seperti kejahatan jabatan (pasal 413-437 KUHP)(harus dilakukan oleh pegawai negeri), pembunuhan anak sendiri (pasal 341-342 KUHP) (harus dilakukan ibunya), merugikan para penagih (pasal 396 KUHP) (harus dilakukan oleh pengusaha). Unsur-unsur tersebut diatas harus ada pada waktu perbuatan dilakukan oleh karena itu maka disebut dengan “yang menentukan sifat pidana”.
5) Unsur yang memberatkan pidana
Hal ini terdapat dalam delik-delik yang dikualifikasikan oleh akibatnya, yaitu karena timbulnya akibat tertentu, maka ancaman pidananya diperberat, se4perti merampas kemerdekaan seseorang (pasal 333 KUHP) diancam pidana penjara paling lama 8 tahun (ayat 1), jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat ancaman pidananya diperberat menjadi paling lama 9 tahun (ayat 2) dan apabila mengakibatkan mati ancaman pidananya diperberat lagi menjadi penjara paling lama 12 tahun (ayat 3), penganiayaan (pasal 351 KUHP) ancaman hukumannya pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan (ayat 1) apabila penganiayaannya mengakibatkan luka-luka berat maka ancaman pidananya diperberat menjadi penjara paling lama 5 tahun (ayat 2) jika mengakibatkan mati ancaman pidananya diperberat lagi menjadi penjara paling lama 12 tahun (ayat 3), dan lain-lain.
6) Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana
Hal ini misalnya : dengan sukarela masuk tentara negara asing yang di ketahuinya bahwa negara itu akan perang dengan indonesia pelakunya hanya dapat dipidana jika terjadi pecah perangsebagai mana diatur pasal 123 KUHP, tidak melaporkan kepada yang berwajib atau kepada orang yang terancam jika mengetahui akan adanya kejahatan-kejahatan tertentu (pelakunya hanya dapat dipidana jika kejahatan itu jadi dilakukan) (pasal 164,165 KUHP), membujuk atau membantu orang lain untuk bunuh diri (pelakunya hanya dapat dipidana kalau orang itu jadi bunuh diri) (pasal 345 KUHP), tidak memberi pertolongan kepada orang yang sedang menhadapi maut (pelakunya hanya dapat dipidana kalau kemudian orang itu meninggal dunia) (pasal 531 KUHP).
b. Unsur subjektif
Unsur subjektif adalah unsur yang terdapat didalam diri si pelaku tindak pidana yang meliputi:
1) Kesengajaan (Dolus)
Hal ini terdapat seperti dalam : melanggar kesusilaan (pasal 281 KUHP) merampas kemerdekaan (pasal 333 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP), dan lain-lain.
2) Kealpaan (Culpa)
Hal ini terdapat seperti dalam : dirampas kemerdekaan (pasal 334 KUHP), menyebabkan mati (pasal 359 KUHP), dan lain-lain.
3) Niat (voortnemen)
Hal ini terdapat dalam percobaan (poging) (pasal 53 KUHP).
4) Maksud (Oogmerk)
Hal ini seperti dalam : pencurian (pasal 362 KUHP), pemerasan (pasal 368 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), dan lain-lain.
5) Dengan rencana lebih dahulu
Hal ini terdapat seperti dalam : pembunuhan dengan rencana (pasal 340 KUHP), pembunuhan anak sendiri dengan rencana (pasal 342 KUHP).
6) Perasaan takut (vrees)
Hal ini di atur seperti dalam : membuang anak sendiri (pasal 341 KUHP), membunuh anak sendiri dengan rencana (pasal 342 KUHP).
Sifat Melawan Hukum
Perbuatan-perbuatan hukum pidana yang harus diperhatikan adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum. Inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana dengan adanya pencantuman perbuatan melawan hukum itu, lebih mudah memperoleh pembuktian tentang perbuatan yang dapat dihukum itu, karena pengertian melawan hukum lebih luas dan umum daripada kejahatan atau pelanggaran. Dengan demikian, ruang gerak dari perbuatan yang dapat dihukum itu lebih luas pula, dan tidal terpaku untuk lebih dahulu untuk mendapatkan bukti jika diduga adanya suatu kejahatan atau pelanggaran.
Sifat melawan hukum (onrechtmatigheid) juga dinamakan sifat melawan hukum (wederrechttelijkkheid) dari tindak pidana yang merupakan sifat yang paling penting, dari hukum pidana yang memuat ancaman hukum pidana atas pelanggaran norma-norma hukum, yang ada dibidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum tata negara, dan hukum tata usaha negara.
Mengenai hal ini, sebagaimana diuraikan oleh Prof. Moeljatno, SH. Dalam bukunya Sifat Melawan Hukumnya Perbuatan Pidana adalah sebagai berikut, ”ada dua pendapat, yaitu pertama, apabila perbuatan tersebut telah mencocoki larangan undang-undang, maka disitu ada kekeliruan. Letak melawan hukunya perbuatan sudah ternyata, dari sifat pelanggarannya ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Pendirian demikian dinamakan pendirian yang formil atau ajaran melawan hukum yang formil. Kedua, berpendapat bahwa kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-udang belum tentu bersifat melawan hukum. Menurut mereka, yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja karena disamping undang-undang (hukum yang tertulis), ada pula hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat. Pendirian ini dinamakan pendirian yang materiel atau ajaran melawan hukum yang materiel.”
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH. Dalam bukunya mengatakan sebagai berikut, ”oenrecthmatigheid ini juga dinamakan wederrechtlijkheid yang berarti sama. Akan tetapi, dengan nama wederrechtlijkheid ini, adakalanya unsur ini secara tegas disebutkan dalam perumusan ketentuan hukum pidana.” seperti dikatakan HR. Nederland tahun 1919, yang terkenal dengan nama Lindenbaum-Cohen Arrest mengenai perkara perdata, bahwa, ”perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige) bukan saja perbuatan yang bertentangan dengan wet tetapi juga perbuatan yang dipandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat.”
Jadi, perbuatan melanggar hukum untuk perkara perdata juga berlaku untuk perkara pidana, tetapi istilah perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) ditujukan untuk kasus perdata, sedangkan istilah melawan hukum (wederrechtlijkheid) ditujukan untuk kasus pidana. Dengan demikian, akibat dari perbuatan melanggar hukum dalam masalah perdata itu sanksinya harus mengganti kerugian, sedangkan akibat dari perbuatan melanggar hukum dalam masalah pidana itu, sanksinya harus menerima hukuman (mati, penjara, kurungan, denda) sesuai dengan berat atau ringannya masalah.
Kalau kita perhatikan dalam urusan rancangan KUHP yang akan datang, jenis-jenis pidana adalah sebagai berikut:
a. Pidana pokok adalah: ke-1 pidana pemasyarakatan, ke-2 pidana tutupan, dan ke-3 pidana pengawasan.
b. Urutan pidana pokok diatas menentukan berat-ringannya pidana.
c. Pidana tambahan adalah: ke-1 pencabutan hak-hak tertentu, ke-2 perampasan barang-barang tertentu dan tagihan, ke-3 pengumuman putusan hakim, ke-4 pembayaran ganti kerugian, dan ke-5 pemenuhan kawajiban adat.
d. Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus.
Alasan-alasan Yang Menghilangkan Sifat Perbuatan Pidana
Didalam titel ketiga dari Buku Pertama KUHP, terdapat hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan, atau memberatkan pidana, yaitu:
1. Tak mampubertanggung jawab : Pasal 44 (1).
2. Belum berumur 16 Tahun : Pasal 45 s/d 27.
3. Daya Paksa : Pasal 48.
4. Pembelaan terpaksa : Pasal 49 (1) dan (2).
5. Ketentuan undang-undang : Pasal 50.
6. Perintah jabatan : Pasal 51 (1) dan (2).
7. Pemberatan karena jabatan : Pasal 52 dan Pasal 52 a.
Selain itu, terdapat pula didalam buku kedua KUHP yaitu pasal 310 ayat 3. menurut Prof. Moeljatno, SH. Dalam bukunya, alasan-alasan yang menghapus pidana dibeda-bedakan menjadi:
1. Alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar.
2. Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapus kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum. Jadi, tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi ia tetap tida dipidana karena tidak ada kesalahan.
3. Alasan penghapus penuntutan, disini masalahnya bukan ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf. Jadi, tidak ada pikiran mengenai sifat perbuatan maupun sifat orang yang melakukan perbuatan. Yang menjadi pertimbangan disini ialah kepentingan umum. Kalau perkaranya tidak dituntut, tentunya yang melakukan perbuatan ta dijatuhi pidana.
Menurut Prof. Wirjono Prodjodikoro, SH. Dalam bukunya Alasan-alasan Menghilangkan sifat Tindak Pidana, ada dua macam jenis pertama yaitu sebagai berikut:
1. Adanya suatu peraturan undang-undang yang melaksanakannya justru berupa perbuatan yang bersangkutan.
2. Keperluan membela diri atau noodweer.
3. Apabila perbuatan yang bersangkutan itu ditujukan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang diberikan oleh seorang penguasa berwenang.
Alasan golongan diatas sering dinamakan Fait justificatief atau hal yang menghalalkan perbuatannya. Jenis kedua dari alasan-alasan menghilangkan sifat tidak pidana ialah bahwa semua unsur tindak pidana, termasuh unsur melanggar hukum tetap ada, tetapi ada hal-hal khusus yang menjadikan pelaku tidak dapat dipertanggung jawabkan. Dua hal ini melekat pada person atau pribadi dari si pelaku, yang termuat dalam:
1. Pasal 44 ayat 1 KUHP yang menyatakan tidak dapat dihukum seseorang yang perbuatannya tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada orang itu berdasarkan kurang bertumbuhnya atau ada gangguan penyakit pada daya berpikir seorang pelaku itu.
2. Pasal 48 KUHP yang mengatakan, tidak dapat dihukum seorang yang untuk melakukan perbuatan yang bersangkutan didorong oleh suatu paksaan yang tidak dapat dicegah (overmacht).
3. Pasal 49 ayat 2 KUHP yang menyatakan, tidak dapat dihukum seorang yang melanggar batas membela diri, disebabkan oleh suatu perasaan goyang sebagai akibat serangan terhadap dirinya.
4. Pasal 51 ayat 2 KUHP yang menyatakan bahwa suatu perintah jabatan yang tidak sah tidak menghilangkan sifat tindak pidana, kecuali bila si pelaku sebagai orang bawahan secara jujur mengira bahwa si pemberi perintah berwenang untuk itu, dan lagi perbuatan yang bersangkutan berada dalam lingkungan pekerjaan seseorang bawahan tadi.
Alasan golongan yang kedua sering disebut fait de’excuse atau hal yang memaafkan si pelaku. Pendapat Bambang Poernomo, SH. Dalam bukunya Azas-azas Hukum Pidana, sebagai berikut:
1. Didalam peraturan umum yang terdiri diatas Pasal 51 ayat 1.
2. Didalam ketentuan delik khusus yang terdiri atas saksi dan dokter, perelahian tanding pasal 186 ayat 1, pencemaran pasal 310 ayat 3, fitnah pasal 314.
3. Diluar kitab undang-undang, yaitu terdiri atas, oleh orang tua, guru, wali.
KESIMPULAN
1. Istilah “tindak pidana” dipakai sebagai terjemahan dari istilah “strafbaar feit” atau “delict”. Akan tetapi didalam berbagai perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dikenal istilah-istilaah yang tidak seragam dalam menterjemahkan “strafbaar feit”. “strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan didalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan”.
2. Unsur objektif, Perbuatan atau kelakuan manusia, Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik-delik, Unsur melawan Hukum, unsur lain yang menentukan sifat pidana, unsur yang memberatkan pidana, unsur tambahan yang menentukan pidana dan unsur subjektif, kesengajaan, kealpaan, niat, maksud, dengan rencana lebih dahulu, takut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar